PERBANDINGAN CYBER LAW



PERBANDINGAN CYBERLAW

Cyber Law:
Cyber Law adalah aspek hukum yang artinya berasal dari Cyberspace Law.yang ruang lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. bisa diartikan cybercrime itu merupakan kejahatan dalam dunia internet.
Cyberlaw juga merupakan hukum yang terkait dengan masalah dunia cyber. Di Indonesia saat ini sudah ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhubungan dengan dunia cyber, yaitu RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Beberapa orang menyebutnya Cybercrime kejahatan komputer. The Encyclopaedia Britannica komputer mendefinisikan kejahatan sebagai kejahatan apapun yang dilakukan oleh sarana pengetahuan khusus atau ahli penggunaan teknologi komputer.

Computer crime action
Undang-Undang yang memberikan untuk pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan penyalahgunaan komputer. BE IT diberlakukan oleh Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong dengan nasihat dan persetujuan dari Dewan Negara dan Dewan Rakyat di Parlemen dirakit,dan oleh otoritas yang sama.
Cyber crime merupakan salah satu bentuk fenomena baru dalam tindakan kejahatan, hal ini sebagai dampak langsung dari perkembangan teknologi informasi. Cybercrime adalah istilah umum, meliputi kegiatan yang dapat dihukum berdasarkan KUHP dan undang-undang lain, menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat.
komputer sebagai diekstrak dari penjelasan Pernyataan dari CCA 1997 :
  1. Berusaha untuk membuat suatu pelanggaran hukum bagi setiap orang untuk menyebabkan komputer untuk melakukan apapun fungsi dengan maksud untuk mendapatkan akses tidak sah ke komputer mana materi.
  2. Berusaha untuk membuatnya menjadi pelanggaran lebih lanjut jika ada orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam item (a) dengan maksud untuk melakukan penipuan, ketidakjujuran atau menyebabkan cedera seperti yang didefinisikan dalam KUHP Kode.
  3. Berusaha untuk membuat suatu pelanggaran bagi setiap orang untuk menyebabkan modifikasi yang tidak sah dari
    isi dari komputer manapun.
  4. Berusaha untuk menyediakan bagi pelanggaran dan hukuman bagi komunikasi yang salah nomor, kode, sandi atau cara lain untuk akses ke komputer.
  5. erusaha untuk menyediakan untuk pelanggaran-pelanggaran dan hukuman bagi abetments dan upaya dalam komisi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada butir (a), (b), (c) dan (d) di atas.
  6. Berusaha untuk membuat undang-undang anggapan bahwa setiap orang memiliki hak asuh atau kontrol apa pun program, data atau informasi lain ketika ia tidak diizinkan untuk memilikinya akan dianggap telah memperoleh akses yang tidak sah kecuali jika dibuktikan sebaliknya
Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace) tidak dapat diatur. Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi batas ruang dan waktu. Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan acuan hukum. Jika seorang warga Indonesia melakukan transaksi dengan sebuah perusahaan Inggris yang menggunakan server di Amerika, dimanakah (dan kapan) sebenarnya transaksi terjadi? Hukum mana yang digunakan?

Teknologi digital yang digunakan untuk mengimplementasikan dunia cyber memiliki kelebihan dalam hal duplikasi atau regenerasi. Data digital dapat direproduksi dengan sempurna seperti aslinya tanpa mengurangi kualitas data asilnya. Hal ini sulit dilakukan dalam teknologi analog, dimana kualitas data asli lebih baik dari duplikatnya. Sebuah salian (fotocopy) dari dokumen yang ditulis dengan tangan memiliki kualitas lebih buruk dari aslinya. Seseorang dengan mudah dapat memverifikasi keaslian sebuah dokumen. Sementara itu dokumen yang dibuat oleh sebuah wordprocessor dapat digandakan dengan mudah, dimana dokumen "asli" dan "salinan" memiliki fitur yang sama. Jadi mana dokumen yang "asli"? Apakah dokumen yang ada di disk saya? Atau yang ada di memori komputer saat ini? Atau dokumen yang ada di CD-ROM atau flash disk? Dunia digital memungkinkan kita memiliki lebih dari satu dokumen asli.
Seringkali transaksi yang resmi membutuhkan tanda tangan untuk meyakinkan keabsahannya. Bagaimana menterjemahkan tanda tangan konvensional ke dunia digital? Apakah bisa kita gunakan tanda tangan yang di-scan, atau dengan kata lain menggunakan digitized signature? Apa bedanya digitized signature dengan digital signature dan apakah tanda tangan digital ini dapat diakui secara hukum?
Tanda tangan ini sebenarnya digunakan untuk memastikan identitas. Apakah memang digital identity seorang manusia hanya dapat diberikan dengan menggunakan tanda tangan? Dapatkah kita menggunakan sistem biometrik yang dapat mengambil ciri kita dengan lebih akurat? Apakah e-mail, avatar, digital dignature, digital certificate dapat digunakan sebagai identitas (dengan tingkat keamanan yang berbeda-beda tentunya)?

Semua contoh-contoh (atau lebih tepatnya pertanyaan-pertanyaan) di atas menantang landasan hukum konvensional. Jadi, apakah dibutuhkan sebuah hukum baru yang bergerak di ruangcyber, sebuah cyberlaw? Jika dibuat sebuah hukum baru, manakah batas teritorinya? Riil atau virtual? Apakah hukum ini hanya berlaku untuk cybercommunity – komunitas orang di dunia cyber yang memiliki kultur, etika, dan aturan sendiri – saja? Bagaimana jika efek atau dampak dari (aktivitas di) dunia cyber ini dirasakan oleh komunitas di luar dunia cyber itu sendiri?
Atau apakah kita dapat menggunakan dan menyesuaikan hukum yang sudah ada saat ini?

Kata "cyber" berasal dari "cybernetics," yaitu sebuah bidang studi yang terkait dengan komunikasi dan pengendalian jarak jauh. Norbert Wiener merupakan orang pertama yang mencetuskan kata tersebut. Kata pengendalian perlu mendapat tekanan karena tujuannya adalah "total control." Jadi agak aneh jika asal kata cyber memiliki makna dapat dikendalikan akan tetapi dunia cyber tidak dapat dikendalikan.
Cyberlaw di Indonesia
Inisiatif untuk membuat "cyberlaw" di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada "payung hukum" yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan "payung" ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.
Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan "cyberlaw" Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.

Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, makaIndonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.


Sumber:

Computer crime act (Malaysia)
    TINGKAT penyalahgunaan jaringan internet di Indonesia sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Akibatnya, Indonesia dijuluki dunia sebagai negara kriminal internet. Karena itu, tak heran, apabila saat ini, pihak luar negeri langsung menolak setiap transaksi di internet menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan perbankan Indonesia.
    Maraknya kejahatan di dunia maya (cyber crime) merupakakan imbas dari kehadiran teknologi informasi (TI), yang di satu sisi diakui telah memberikan kemudahan-kemudahan kepada manusia. Namun demikian, di sisi lainnya, kemudahan tersebut justru sering dijadikan sebagai alat untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cyber crime) seperti yang sering kita saksikan belakangan ini.
    Pornografi, penggelapan, pencurian data, pengaksesan ke suatu sistem secara ilegal (hacking), pembobolan rekening bank, perusakan situs internet (cracking), pencurian nomor kartu kredit (carding), penyediaan informasi yang menyesatkan, transaksi barang ilegal, merupakan contoh-contoh cyber crime yang sering terjadi dan merugikan banyak pihak.
Oleh karena itu, untuk mencegah merajalelanya cyber crime, maka perlu dibuat aturan hukum yang jelas untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya. Bahkan, dengan pertimbangan bahwa pengembangan teknologi informasi dapat menimbulkan bentuk-bentuk kejahatan baru, terutama dalam penyalahgunaan teknologi informasi, akhirnya pada 4 Desember 2001 yang lalu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi No. 55/63.
    Dalam resolusi tersebut disepakati bahwa semua negara harus bekerja sama untuk mengantisipasi dan memerangi kejahatan yuang menyalahgunakan teknologi informasi. Salah satu butir penting resolusi menyebutkan, setiap negara harus memiliki undang-undang atau peraturan hukum yang mampu untuk mengeliminir kejahatan tersebut.
Implementasi resolusi ini mengikat semua negara yang menjadi anggota PBB termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus segera melakukannya, apalagi saat ini, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara kriminal internet. Pemerintah harus segera berupaya untuk segera merealisasikan undang-undang yang mengatur secara detil tentang TI yang di dalamnya juga mencakup masalah cyber crime. Kehadiran UU tersebut sangat penting untuk memulihkan citra Indonesia di dunia Internasional.
    Dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, Indonesia tergolong sangat lamban dalam mengantisipasi perkembangan TI. Sejak 1996, Singapura sudah memiliki beberapa perangkat hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan TI, di antaranya: "The Electronic Act 1998, Electric Communication Privacy Act 1996″.
    Sedangkan, peraturan undang-undang (UU) TI sudah dimiliki negara jiran Malaysia sejak tahun 1997, yaitu dengan dikeluarkannya "Computer Crime Act 1997″, "Digital Signature Act 1997″, serta "Communication and Multimedia Act 1998″.

    Karena belum adanya UU khusus tentang TI, maka selama ini, para pelaku tindak pidana teknologi informasi (cyber crime) di Indonesia hanya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta perangkat UU lainnya, seperti UU Telekomunikasi, Undang-Undang Hak Cipta, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Padahal, berdasarkan data Polri, perkembangan cyber crime di Indonesia sangat pesat. Sebagai contoh, sejak Januari-September 2002, pihak Polri telah berhasil mengungkap 109 kasus tindak pidana TI yang dilakukan oleh 124 tersangka WNI yang melakukan aksinya di berbagai kota di Indonesia.
Dalam data tersebut, Bandung menempati posisi kedua sebagai kontributor tersangka pelaku cyber crime. Selain itu, dalam data yang sama diungkapkan pula, sekira 96% modus operandi yang digunakan dalam 109 kasus tersebut adalah Credit Card Fraud (penipuan dengan kartu kredit). Kemudian, jumlah korban yang dirugikan oleh kasus tersebut mencapai 109 orang,
    sekira 80% dari korban tersebut merupakan warga AS.Berdasarkan paparan data Polri tersebut, sudah seharusnya negara kita memiliki Undang-Undang Teknologi Informasi (UUTI) sebagai bukti bahwa pemerintah memang serius dalam menangani maraknya cyber crime di Indonesia.
    Berkaitan dengan pembuatan UUTI ini, Deputi Bidang Jaringan Komunikasi dan Informasi Cahyana Ahmadjayadi, mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) di bidang TI yang diharapkan dalan waktu dekat ini dapat diajukan ke DPR. RUU yang dimaksud yaitu: RUU tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi/cyber law (RUU PTI), yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Perhubungan bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Unpad. Dan satu lagi, RUU tentang Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature) dan Transaksi Elektronik (E-Transaction), yang disingkat RUU IETE, disusun oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan, bekerja sama dengan tim Lembaga Kajian Hukum Teknologi, FH UI.
Refensi :


Council of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)(softskill)

Council of Europe Convention on Cyber crime telah diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut :
Pertama, bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
Kedua, Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
Ketiga, saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.
Sumber  :

Peraturan & regulasi


Peraturan & regulasi

Pembahasan tentang ringkasan undang undang :
  • UU no 19 TENTANG HAK CIPTA
  • UU no 36 TENTANG TELEKOMUNIKASI

 
                       RINGKASAN UU NO 19 TENTANG HAK CIPTA

    Berkaitan dengan pepmbahasan di atas di atas, maka pemahaman mengenai pemegang hak cipta yang dinyatakan secara sah dapat disimpulkan dari Pasal 1 butir 4 Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) menyatakan bahwa pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.  Selanjutnya sehubungan dengan hal tersebut di atas dan pemahaman awam mengenai sebenarnya kita tidak perlu capek-capek mendaftarkan ciptaan kita, karena tetap dilindungi adalah tidak benar. 
    Pendaftar hak cipta memang bukan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, karena baik ciptaan yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar akan dilindungi. Namun demikian apabila terjadi suatu perselisihan/persengketaan/klaim antara dua belah pihak yang menyatakan bahwa masing-masing dari mereka itu adalah pemegang hak cipta atas suatu ciptaan, maka pendaftaran atas ciptaan yang dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasanya dapat menjadi suatu alat bukti yang kuat di depan persidangan yang sekaligus juga menjadi suatu bahan pertimbangan bagi Hakim untuk menentukan siapa pemegang hak cipta yang sah.
    Dan juga hak cipta. Hak cipta adalah hak monopoli yang dimiliki pencipta atau penerima hak dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Secara rinci Pasal 12 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menentukan beberapa ciptaan sebagai objek yang dilindungi. Namun, ketentuan Pasal 12 UU No. 19 Tahun 2002 tidaklah bersifat membatasi ciptaan yang dilindungi hak cipta. Artinya, jika ada ciptaan lain diluar yang disebutkan di dalam Pasal 12 UU No. 19 Tahun 2002, maka selama ciptaannya masuk pada bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan merupakan objek yang dilindungi hak cipta.
    
    Konsekuensi suatu ciptaan memiliki hak cipta, maka di dalam ciptaan tersebut terdapat dua macam hak yang dimonopoli oleh pencipta atau penerima hak. Dua macam hak tersebut adalah; hak ekonomi dan hak moral. 
    
    Menurut ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta sangat jelas bahwa hak cipta diperoleh secara otomatis ketika ciptaan tersebut diwujudkan secara nyata dengan tanpa mengurangi pembatasan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsep perolehan hak cipta seperti ini dapat ditemukan di dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 19 Tahun 2002 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilakukan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 


    Nah, dari sini jelaslah bahwa untuk memperoleh hak cipta sebenarnya tidak membutuhkan pendaftaran. Artinya, tatkala suatu ciptaan tersebut dilahirkan dipublikasikan atau tidak pada dasarnya pada ciptaan tersebut melekat hak ciptanya. Jika, di masyarakat dipahami hak cipta diperoleh dengan mendaftar ke Dirjen HKI, maka pemahaman tersebut keliru/tidak benar. 

 
    UU No. 19 Tahun 2002 mengatur pendaftaran ciptaan, tetapi hal tersebut tidak dimaksudkan sebagai bentuk perolehan hak cipta. Hal ini semakin dipertegas lagi di dalam Penjelasan ketentuan Pasal 35 ayat (4) UU No. 19 Tahun 2002 yang menyatakan:"Pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Hal ini berarti suatu ciptaan baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar tetap dilindungi.

 
    HAKI atau juga disebut hak kekayaan intelektual adalah pengakuan hukum yang memberikan pemegang hak untuk mengatur penggunaan gagasan-gagasan dan ekspresi yang diciptakannya untuk jangka waktu tertentu. Istilah 'kekayaan intelektual' mencerminkan bahwa hal tersebut merupakan hasil pikiran atau intelektualitas, dan bahwa hak kekayaan intelektual dapat dilindungi oleh hukum sebagaimana bentuk hak milik lainnya.

    prinsipnya HAKI merupakan suatu hak kekayaan yang berada dalam ruang lingkup kehidupan manusia di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra, sehingga pemilikannya bukan terhadap barangnya melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual manusianya dan tentu harus berwujud. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi secara hukum dari ide, gagasan dan informasi yang mempunyai nilai komersial atau nilai ekonomi yang telah dihasilkan oleh seseorang maupun kelompok tersebut.

Terdapat tiga jenis benda yang dapat dijadikan kekayaan atau hak milik, yaitu :
  1. Benda bergerak, seperti emas, perak, kopi, teh, alat-alat elektronik, peralatan telekominukasi dan informasi, dan sebagainya;
  2. Benda tidak bergerak, seperti tanah, rumah, toko, dan pabrik;
  3. Benda tidak berwujud, seperti paten, merek, dan hak cipta.

    Kekayaan intelektual (Intelectual property) meliputi dua hal, yaitu :
1. Industrial property right (hak kekayaan industri), berkaitan dengan invensi/inovasi yang berhubungan dengan kegiatan industri, terdiri dari :
a. paten
b. merek
c. desain industri
d. rahasia dagang
e. desain tata letak terpadu

2. Copyright (hak cipta), memberikan perlindungan terhadap karya seni, sastra dan ilmu pengetahuan seperti film, lukisan, novel, program komputer, tarian, lagu, dsb.
Dasar Hukum
•Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
•Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
•Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
•Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
•Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
•Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
•Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
•Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty

Ruang lingkup HAKI :
  1. Hak Cipta
  2. Paten
  3. Merek
  4. Desain Industri
  5. Rahasia Dagang

    Hak Cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
    Dikatakan hak khusus atau sering juga disebut hak eksklusif yang berarti hak tersebut hanya diberikan kepada pencipta dan tentunya tidak untuk orang lain selain pencipta.
Hak khusus meliputi :
  1. hak untuk mengumumkan;
  2. hak untuk memperbanyak.
    UU yang mengatur Hak Cipta :
    UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaØ
    UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982
  3. Nomor 15)Ø
    UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)Ø
    UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)Ø

2. Paten
    
    Hak khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya (UU 14 tahun 2001, pasal 1, ayat 1).
    Paten hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
a. Proses;
b. Hasil produksi;
c. Penyempurnaan dan pengembangan proses;
d. Penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi.

    
    Pengaturan Paten diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1989 tentang Paten telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1989 tentang Paten. Untuk mempermudah penyebutannya dapat disingkat menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 atau Undang-Undang Paten (UUP) saja.

Pemberian Paten
Penemuan diberikan Paten oleh negara apabila telah melewati suatu proses pengajuan permintaan paten pada Kantor Paten (Departemen Kehakiman Republik Indonesia di Jakarta).

Penemuan yang tidak dapat dipatenkan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Paten, yaitu :
  1. Penemuan tentang proses atau hasil produksi yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, dan kesusilaan.
  2. Penemuan tentang metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan hewan, tetapi tidak menjangkau produk apapun yang digunakan atau berkaitan dengan metode tersebut.
  3. Penemuan tentang teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika.


    3. Merk Dagang (Trademark)
    Tanda yang berupa gambar, nama,kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yangmemiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang Merek).
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

    Pengaturan Merek diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek. Untuk mempermudah penyebutannya dapat disingkat menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 atau dapat juga disingkat Undang-Undang Merek (UUM).

Unsur-unsur yang tidak dapat didaftarkan sebagai merek menurut Pasal 5 Undang-Undang Merek yaitu :
a. Tanda yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
b. Tanda yang tidak memiliki daya pembeda.
c. Tanda yang telah menjadi milik umum.
d. Tanda yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.

4. Desain industri
    Seni terapan di mana estetika dan usability (kemudahan dalam menggunakan suatu barang) suatu barang disempurnakan. Desain industri menghasilkan kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna atau garis dan warna atau gabungannya, yang berbentuk 3 atau 2 dimensi, yang memberi kesan estetis, dapat dipakai untuk menghasilkan produk, barang, komoditas industri atau kerajinan tangan. Sebuah karya desain dianggap sebagai kekayaan intelektual karena merupakan hasil buah pikiran dan kreatifitas dari pendesainnya, sehingga dilindungi hak ciptanya oleh pemerintah melalui Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri. Kriteria desain industri adalah baru dan tidak melanggar agama, peraturan perundangan, susila, dan ketertiban umum. Jangka waktu perlindungan untuk desain industri adalah 10 tahun.


5. Rahasia Dagang
    Informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/ atau bisnis dimana mempunyai nilai ekonomis karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.
    Pemilik rahasia dagang dapat memberikan lisensi bagi pihak lain. Yang dimaksud dengan lisensi adalah izin yang diberikan kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberikan perlindungan pada jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.
    Rahasia Dagang di Indonesia diatur dalam UU No 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Perlindungan rahasia dagang berlangsung otomatis dan masa perlindungan tanpa batas.


RINGKASAN UU NO 36 TELEMATIKA
 
    Undang-undang Nomor 36 Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah an, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
    Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penquasaan teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas perdagangan, yang memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya berbagai kesepakatan multilateral. Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antarnegara atas dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi dan diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on Trade and Services (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
    Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan / atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya (Pasal 1 angka (1) Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi / UU 3 / 99).
     Telekomunikasi sendiri berasal dari kata "tele" yang berarti jauh, dan "komunikasi" yang berarti hubungan pertukaran ataupun penyampaian informasi.
     Teknisnya, proses bertelekomunikasi dilakukan dengan memancarkan suatu pesan atau data dengan signal elektronik dari suatu tempat si pengirim dan ke suatu tempat si penerima informasi, baik melalui jalur gelombang radio, ataupun signal radio.
     Asas dan tujuan dari telekomunikasi adalah berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri. Kemudian telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Lingkup yang meliputi hukum telekomunikasi adalah prinsip universalitas.
     Oleh penggunanya, telekomunikasi dituntut untuk disediakan jasa yang beragam, baik dan handal dengan tarif yang bersaing dan diselenggarakan bebas dari batasan monopoli. Pada tahun 1997, negara-negara dunia menandatangani World Trade Organization Agreement on Basic Telecomunications yang bermaksud untuk meliberalisasikan pasar jasa telekomunikasi dasar. Akibatnya, pasar telekomunikasi yang semula tertutup berubah menjadi terbuka.
     Sebagai salah satu negara peserta yang ikut menandatangani perjanjian ini, maka Indonesia juga akan membuka pasar telekomunikasi ke pasar bebas. Dalam additional commitment, Indonesia telah menyesuaikan peraturan kita dengan WTO reference paper yang merupakan suatu perangkat pengaturan yang menjamin kompetisi yang sehat yang meliputi keharusan negara anggota untuk memasukkan dalam regulasi nasional hal-hal sebagai berikut:
a.       Pencegahan praktek anti-kompetisi dalam telekomunikasi;
b.      Interkoneksi;
c.       Pelayanan Universal;
d.      Kriteria pemberian lisensi yang harus diumumkan;
e.       Regulator independen;
f.        Alokasi dan pemakaian sumber daya (resources) yang langka.

 
    Menurut Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor. 11 / PER / M.KOMINFO / 04 / 2007 tentang Penyediaan Kewajiban Pelayanan Universal Komunikasi, yang dimaksud dengan Kewajiban Pelayanan Universal adalah kewajiban yang dibebankan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi untuk memenuhi aksesibilitas bagi wilayah atau sebagian masyarakat yang belum terjangkau  oleh penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi (Pasal 1 angka (9)).
     Kewajiban penyelenggara telekomunikasi berdasarkan Pasal 2 Permen No. 11 / PER / M.KOMINFO/ 04 / 2007 adalah:
(1) Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi wajib dikenakan KPU telekomunikasi.
(2)  KPU telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui KKPU dalam bentuk prosentase tertentu dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi setiap tahun.
(3)  KKPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
(4)   Ketentuan mengenai besaran penyetoran, dan tata cara penarikan KKPU diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.
Catatan:
KPU    =          Kewajiban Pelayanan Universal
KKPU =          Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal
BTIP    =          Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan

 
    Pasal 4 ayat (1) Permen aquo mengatur bahwa dalam kewajiban pelayanan universal telekomunikasi, makapelayanan telekomunikasi harus dapat memberikan layanan jasa teleponi dasar dan selanjutnya harus dapat dikembangkan ke tahap penyediaan layanan jasa multimedia dan layanan telekomunikasi berbasis informasi lainnya. Yang merupakan  penyediaan layanan telekomunikasi berbayar dan berbasis komunal.
     Menteri Komunikasi dan Informatika juga mempunyai kewenangan untuk menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah pelayanan universal telekomunikasi (Pasal 5 ayat (1), yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan instansi terkait dan / atau mempertimbangkan masukan masyarakat, di mana wilayah ini dapat dibagi berdasarkan wilayah geografis.
     Dalam usaha menyediakan kewajiban universal telekomunikasi ini, maka akan dilakukan lelang dengan pesertapenyelenggara jaringan dan/atau jasa telekomunikasi (Pasal 7).
 Parameter penilaian dalam pelaksanaan lelang umum penyediaan kewajiban pelayanan universal telekomunikasi adalah :
a.       biaya penyediaan layanan;
b.      pengoperasian dan pemeliharaan;
c.       tarif layanan;
d.      penyediaan interkoneksi layanan;
e.       jenis layanan minimal;
f.        penggunaan produk dalam negeri.

 
Di mana ketentuan teknis parameter penilaian akan diatur lebih lanjut dalam dokumen pelelangan umum.
 Kontrak penyediaan KPU telekomunikasi bersifat multiyears yang terdiri dari  kontrak induk dan kontrak anak. Kontrak induk merupakan  hubungan hukum antara pelaksana penyedia dengan BTIP dalam penyediaan KPU telekomunikasi untuk jangka waktu 5 tahun. Sedangkan kontrak anak merupakan bagian dari kontrak induk untuk menugaskan pelaksana penyedia dalam penyediaan kewajiban pelayanan universal telekomunikasi dan mengevaluasi kinerja penyediaan akses dan layanan telekomunikasi. Kontrak induk dapat diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.

 
Hak penyedia kewajiban pelayanan universal telekomunikasi adalah:
a.Pelaksana penyedia berhak mendapatkan akses interkoneksi dari penyelenggara jasa/jaringan telekomunikasi;
b.Pelaksana penyedia dapat diberikan uang muka dalam penyediaan akses telekomunikasi;
c.Pelaksana penyedia berhak mendapatkan biaya sewa atas  jasa penyediaan akses KPU telekomunikasi.Biaya sewa atas jasa penyediaan akses KPU telekomunikasi, diberikan berdasarkan kesiapan fungsi dan berbasis kinerja dari; proses penyediaan akses; layanan telekomunikasi;  pengoperasian; dan / ataupemeliharaan;
d.Pelaksana berhak memperoleh seluruh pendapatan dari hasil penyediaan layanan KPU telekomunikasi.

 
Kewajiban pelaksana KPU adalah:
a.Pelaksana penyedia wajib membangun, mengoperasikan dan memelihara serta mengembangkan akses dan layanan KPU telekomunikasi;
b.Untuk kesinambungan layanan, pelaksana penyedia dapat melibatkan masyarakat atau badan usaha dalam penyediaan KPU telekomunikasi. Keterlibatan masyarakat atau badan usaha dilakukan berdasarkan kontrak atau kesepakatan;
c.Pelaksana penyedia wajib memberlakukan tarif layanan jasa teleponi dasar maksimal sesuai dengan tarif yang ditetapkan oleh penyelenggara jaringan tetap lokal dominan. Pelaksana penyedia wajib menanggung resiko atas pendapatan dari penyediaan layanan KPU  telekomunikasi;
d.Menjamin interoperability sistem yang dibangun dengan sistem milik penyelenggara telekomunikasi lainnya;
e.Menggunakan sistem penomoran yang telah dialokasikan;
f. Mengikuti ketentuan dalam Rencana Dasar  Teknis yang ditetapkan oleh Menteri;
g.Melaksanakan pencatatan atas pendapatan dari hasil penyediaan KPU telekomunikasi dan dilaporkan secara berkala kepada BTIP;
h.Menyediakan akses dan menyampaikan data pengoperasian kepada BTIP;
i. Penyediaan KPU wajib beroperasi setiap hari selama 24 (dua puluh empat) jam;
j.        Pelaksana penyedia wajib melaksanakan penyediaan KPU telekomunikasi berdasarkan tingkat kualitas layanan sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak.

                    TELEKOMUNIKASI PADA UMUMNYA

Menurut Pasal 7 UU 36 / 99, penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:
a.       Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b.      Penyelenggaraan jasa telekomunikasi;
c.       Penyelenggaraan telekomunikasi khusus.

 
Berdasarkan Pasal 8 UU 36 / 99, penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh:
a.       Badan Usaha Milik Negara;
b.      Badan Usaha Milik Daerah;
c.       Badan Usaha Swasta;
d.      Koperasi.
Sedangkan penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh:
a.       perseorangan;
b.      instansi pemerintah;
c.       badan hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan / atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
    
     Penyelenggara telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara penyelenggara telekomunikasi (Pasal 10 ayat (1)), sedangkan larangan tersebut sesuai dengan Undang-undang tentang Monopoli, dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
     Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan / atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi, penyelenggara telekomuniasi dapat memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai pemerintah. Juga dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan / atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
     Pasal 16 UU 36 / 99 mempertegas kewajiban penyelenggara jasa telekomunikasi untuk memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
 Hak dan kewajiban penyelenggara jaringan telekomunikasi adalah:
a.Wajib mencatat / merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi;
b.Wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi;
c.Memberikan prioritas pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang menyangkut: keamanan negara; keselamatan jiwa manusia, bencana alam, marabahaya, dan wabah penyakit;
d.Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi (diatur oleh Peraturan Pemerintah);
e.Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya (diatur oleh Peraturan Pemerintah);
f.Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan / atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari prosentase pendapatan (diatur oleh Peraturan Pemerintah);
     
        Berdasarkan Pasal 32 ayat (1), perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukan dan / atau digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, di mana persyaratan teknis perangkat telekomunikasi ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun pengecualian diberikan kepada perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia, serta yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia.
     Dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi. Dengan catatan informasi yang dikirim tersebut dirahasiakan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi.
     Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomuniksi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: permintaan jaksa agung atau kepala kepolisian Republik Indonesia, dan permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan hal ini tidak melanggar ketentuan bahwa setiap orang tidak boleh menyadap jaringan telekomunikasi.
     Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor. 52 Tahun 2000, penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui jaringan yang dimiliki, dan disediakannya. Ayat (2) menyatakan penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang dilakukan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggara jaringan yang sudah ada, dan pada Ayat (3) dinyatakan harus mendapat izin dari Menteri terkait.
     Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terdiri dari; penyelenggaraan jaringan tetap (lokal, sambungan jarak jauh, sambungan internasional, tetap tertutup); jaringan bergerak (terestrial, seluler, satelit).
     Pasal 10 mengatur bahwa penyelenggara jaringan tetap lokal atau penyelenggara jaringan bergerak seluler atau penyelenggara jaringan bergerak satelit harus menyelenggarakan jasa teleponi dasar. Pasal yang sama juga mengatur bahwa penyelenggara jaringan tetap lokal dalam menyelenggarakan jasa teleponi dasar, wajib menyelenggarakan jasa telepon umum, yang dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak ketiga.
     Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam menyediakan jaringan telekomunikasi dapat bekerja sama dengan penyelenggara luar negeri sesuai dengan izin penyelenggaraannya.

    Pasal 14 menjelaskan bahwa penyelenggaraan jasa telekomunikasi jasa terdiri dari; penyelenggaraan teleponi dasar, penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi, dan penyelenggaraan jasa multimedia.
Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sendiri diatur melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. KM. 21 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
     Yang dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi sebagai badan hukum adalah: Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Swasta, dan Koperasi (Pasal 3 ayat (1).
     Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi, yang dilaksanakan melalui perjanjian kerjasama yang dilakukan secara tertulis (Pasal 5).
     Pasal 6 menjelaskan bahwa dalam hal tidak tersedia jaringan telekomunikasi, maka penyelenggara jasa dapat membangun jaringan telekomunikasi sendiri, yang tidak boleh disewakan kepada pihak lain.
     Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa wajib mengikuti ketentuan dalam Rencana Dasar Teknis yang ditetapkan Menteri, serta memenuhi standar pelayanan telekomunikasi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal, alat atau perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam penyelenggaraan jasa, wajib memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan, dan memiliki sertifikat dari Direktur Jenderal (Pasal 8 jo Pasal 9 jo Pasal 10).
     Setiap penyelenggara jasa telekomunikasi juga wajib membayar biaya penyelenggaraan telekomunikasi yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Pasal 12) dengan disertai kewajiban pelayanan universal (Pasal 13).
     Pasal 14 menjelaskan bahwa penyelenggaraan jasa teleponi dasar dilakukan oleh: penyelenggara jaringan tetap lokal, penyelenggara jaringan tetap seluler, penyelenggara jaringan bergerak satelit, dan penyelenggara radio trunking.
     Menurut Pasal 23, penyelenggara jasa teleponi dasar dapat menyelenggarakan fasilitas layanan tambahan, seperti;reverse chargingmulti call addressabbreviated diallingspecial dialling facilitiesvoice and text mail box, danshort message service (Pasal 24).
     Berdasarkan Pasal 25, maka penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi terdiri dari: panggilan premium, kartu panggil, nomor telepon maya, rekaman telepon untuk umum, store and forward, serta pusat layanan informasi (call center).
     Sementara berdasarkan Pasal 46, penyelenggaraan jasa multimedia sendiri terdiri atas: jasa televisi berbayar, jasa akses internet, jasa interkoneksi internet, jasa internet teleponi untuk keperluan publik (memerlukan izin Dirjen), jasawireless access protocol, jasa portal, jasa small office – home office, jasa transaksi online, dan jasa aplikasi packet – switched (tidak memerlukan izin Dirjen, hanya didaftarkan saja).
     Berdasarkan Pasal 38 PP 25 Tahun 2000, maka penyelenggaraan telekomunikasi khusus dilakukan untuk keperluan: sendiri, pertahanan negara, dan penyiaran. Yang dapat menyelenggarakan telekomunikasi khusus sendiri adalah:perseorangan (radio amatir, dan komunikasi radio antar penduduk), instansi pemerintah, dinas khusus, dan badan hukum.
     Dalam PP 25 Tahun 2000 juga diatur mengenai penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk penyiaran, namun mengingat sudah ada undang-undang sendiri mengenai penyiaran, maka bagian dari PP ini tidak lagi akan diulas.
     Setiap alat atau perangkat telekomunikasi harus mendapatkan sertifikasi berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor. KM. 10 tahun 2005. Di mana pengujian alat dan perangkat telekomunikasi akan didasarkan kepada kesesuaian antara karakteristik alat dan perangkat telekomunikasi terhadap persyaratan teknis yang berlaku. Definisi persyaratan teknis sendiri adalah parameter elektronis / elektris yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia yang dibuat oleh instansti teknis terkait.
     Pasal 2 ayat (3) menyatakan pelaksanaan sertifikasi alat dan perangkat telekomunikasi meliputi: pengujian dan penerbitan sertifikat.
     Pasal 4 menjelaskan bahwa pengujian alat dan perangkat dilaksanakan melalui: pengukuran (terdiri dari uji laboratorium dan uji lapangan) oleh Lembaga Pengujian, dan uji dokumen oleh Lembaga Sertifikasi (berlaku dalam halMutual Recognation Arrangement).
     Sertifikat alat dan perangkat telekomunikasi yang diterbitkan terdiri dari: Sertifikat A untuk pabrikan dan distributor, serta Sertifikat B untuk importir atau institusi, di mana alat yang telah mendapatkan sertifikat akan dilekatkan label. Pasal 13 mengatakan sertifikat berlaku selama tiga tahun dan wajib diperbaharui kecuali dalam hal alat tersebut tidak diperdagangkan lagi, ataupun tidak digunakan lagi untuk keperluan institusi. Pembaharuan ini wajib dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum masa berlaku sertifikat berakhir.
    Masalah interkoneksi diatur oleh Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor. 08 / Per / M.KOMINFO / 02 / 2006 tanggal 08 Februari 2006 tentang Interkoneksi.
     Interkoneksi berdasarkan Pasal 1 angka (1) Permen a quo didefinisikan sebagai keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda. Kewajiban interkoneksi sendiri diberikan agar memberi jaminan kepada pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi (Pasal 2 ayat (1)).
     Layanan dari interkoneksi dan ketersambungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 terdiri dari: a. Layanan originasi, b. Layanan transit, dan c. Layanan terminasi.
     Ad. a. Layanan originasi merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari satu penyelenggara kepada penyelenggara lain yang dapat berasal dari penyelenggara jaringan tetap lokal, jaringan penyelenggara jaringan bergerak seluler, dan penyelenggara jaringan bergerak satelit, yang dapat memberikan layanan originasi lokal, jarak jauh, internasional, bergerak seluler, dan bergerak satelit.
     Ad. b. Layanan transit merupakan penyediaan jaringan atau elemen jaringan keperluan penyaluran panggilan interkoneksi, dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan panggilan interkoneksi. Layanan transit sendiri terdiri dari layanan lokal, dan jarak jauh.
     Ad. c. Layanan terminasi merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi dari penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan, yang dilakukan oleh penyelenggara jaringan tetap lokal, bergerak satelit, dan bergerak seluler, yang dapat memberikan layanan terminasi lokal, jarak jauh, bergerak selular, dan bergerak satelit.

  Jenis-jenis biaya yang timbul dari interkoneksi adalah: biaya originasi, biaya transit, dan biaya terminasi. Perhitungan biaya interkoneksi dilakukan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Menteri, dan mengacu kepada: ketentuan metode pengalokasian biaya dan laporan finansial kepada regulator, serta buku panduan dan perangkat lunak formula perhitungan biaya interkoneksi.
     Biaya interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara tujuan panggilan kepada penyelenggara asal panggilan yang mempunyai tanggung jawab atas panggilan interkoneksi, namun dalam hal tanggung jawab panggilan interkoneksi dimiliki oleh penyelenggara tujuan atau penyelenggara jasa telekomunikasi, biaya interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan, tanggung jawab tersebut meliputi proses billing tarif pungut, penagihan kepada pengguna, dan piutang tidak tertagih. Dalam hal tanggung jawab dilaksanakan oleh penyelenggara jaringan yang menyalurkan trafik interkoneksi, maka dapat mengenakan biaya atas pelaksanaan tanggung jawab tersebut yang ditetapkan berdasarkan ketetapan bersama
     Pasal 18 mewajibkan penyelenggara telekomunikasi menyampaikan laporan kepada Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia, yang meliputi laporan finansial, dokumen perhitungan, dan alokasi biaya sebagaimana diatur dalam Metode Pengalokasian Biaya dan Laporan Finansial.
     Berdasarkan Pasal 19, maka setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan dan mempublikasikan Dokumen Penawaran Interkoneksi  (DPI) adalah dokumen yang memuat aspek teknis, aspek operasional, dan aspek ekonomis dari penyediaan layanan interkoneksi yang ditawarkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi kepada penyelenggara jaringan dan atau penyelenggara jasa lainnya. DPI akan dievaluasi oleh Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia setiap tahun.
     DPI milik penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha 25 % atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh penyelenggara telekomunikasi dalam segmentasi layanannya, wajib mendapatkan persetujuan Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia, demikian pula dengan setiap perubahan DPI harus mendapat persetujuan Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia.

SUMBER REFERENSI :
 

Usage Rights

DesignBlog BloggerTheme comes under a Creative Commons License.This template is free of charge to create a personal blog.You can make changes to the templates to suit your needs.But You must keep the footer links Intact.