PERBANDINGAN
CYBERLAW
Cyber
Law:
Cyber
Law adalah aspek hukum yang artinya berasal dari Cyberspace Law.yang ruang
lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau
subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai
pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. bisa diartikan
cybercrime itu merupakan kejahatan dalam dunia internet.
Cyberlaw
juga merupakan hukum yang terkait dengan masalah dunia cyber. Di Indonesia saat
ini sudah ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhubungan dengan dunia
cyber, yaitu RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan RUU Informasi Elektronik
dan Transaksi Elektronik.
Beberapa
orang menyebutnya Cybercrime kejahatan komputer.
The Encyclopaedia Britannica komputer mendefinisikan kejahatan sebagai kejahatan
apapun yang dilakukan oleh sarana pengetahuan khusus atau ahli penggunaan
teknologi komputer.
Computer
crime action
Undang-Undang
yang memberikan untuk pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan
penyalahgunaan komputer. BE IT diberlakukan oleh Seri Paduka Baginda Yang
di-Pertuan Agong dengan nasihat dan persetujuan dari Dewan Negara dan Dewan
Rakyat di Parlemen dirakit,dan oleh otoritas yang sama.
Cyber
crime merupakan salah satu bentuk fenomena baru dalam tindakan kejahatan, hal
ini sebagai dampak langsung dari perkembangan teknologi informasi. Cybercrime
adalah istilah umum, meliputi kegiatan yang dapat dihukum berdasarkan KUHP dan
undang-undang lain, menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan
dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak
properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi,
pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat.
komputer
sebagai diekstrak dari penjelasan Pernyataan
dari CCA 1997 :
- Berusaha untuk membuat suatu pelanggaran hukum bagi setiap orang untuk menyebabkan komputer untuk melakukan apapun fungsi dengan maksud untuk mendapatkan akses tidak sah ke komputer mana materi.
- Berusaha untuk membuatnya menjadi pelanggaran lebih lanjut jika ada orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam item (a) dengan maksud untuk melakukan penipuan, ketidakjujuran atau menyebabkan cedera seperti yang didefinisikan dalam KUHP Kode.
- Berusaha untuk membuat suatu
pelanggaran bagi setiap orang untuk menyebabkan modifikasi yang tidak sah
dari
isi dari komputer manapun. - Berusaha untuk menyediakan bagi pelanggaran dan hukuman bagi komunikasi yang salah nomor, kode, sandi atau cara lain untuk akses ke komputer.
- erusaha untuk menyediakan untuk pelanggaran-pelanggaran dan hukuman bagi abetments dan upaya dalam komisi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada butir (a), (b), (c) dan (d) di atas.
- Berusaha untuk membuat undang-undang anggapan bahwa setiap orang memiliki hak asuh atau kontrol apa pun program, data atau informasi lain ketika ia tidak diizinkan untuk memilikinya akan dianggap telah memperoleh akses yang tidak sah kecuali jika dibuktikan sebaliknya
Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace) tidak dapat
diatur. Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi batas ruang dan
waktu. Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan acuan hukum. Jika seorang
warga Indonesia melakukan transaksi dengan sebuah perusahaan Inggris yang
menggunakan server di Amerika, dimanakah (dan kapan) sebenarnya transaksi
terjadi? Hukum mana yang digunakan?
Teknologi digital yang digunakan untuk mengimplementasikan dunia cyber memiliki kelebihan dalam hal duplikasi atau regenerasi. Data digital dapat direproduksi dengan sempurna seperti aslinya tanpa mengurangi kualitas data asilnya. Hal ini sulit dilakukan dalam teknologi analog, dimana kualitas data asli lebih baik dari duplikatnya. Sebuah salian (fotocopy) dari dokumen yang ditulis dengan tangan memiliki kualitas lebih buruk dari aslinya. Seseorang dengan mudah dapat memverifikasi keaslian sebuah dokumen. Sementara itu dokumen yang dibuat oleh sebuah wordprocessor dapat digandakan dengan mudah, dimana dokumen "asli" dan "salinan" memiliki fitur yang sama. Jadi mana dokumen yang "asli"? Apakah dokumen yang ada di disk saya? Atau yang ada di memori komputer saat ini? Atau dokumen yang ada di CD-ROM atau flash disk? Dunia digital memungkinkan kita memiliki lebih dari satu dokumen asli.
Teknologi digital yang digunakan untuk mengimplementasikan dunia cyber memiliki kelebihan dalam hal duplikasi atau regenerasi. Data digital dapat direproduksi dengan sempurna seperti aslinya tanpa mengurangi kualitas data asilnya. Hal ini sulit dilakukan dalam teknologi analog, dimana kualitas data asli lebih baik dari duplikatnya. Sebuah salian (fotocopy) dari dokumen yang ditulis dengan tangan memiliki kualitas lebih buruk dari aslinya. Seseorang dengan mudah dapat memverifikasi keaslian sebuah dokumen. Sementara itu dokumen yang dibuat oleh sebuah wordprocessor dapat digandakan dengan mudah, dimana dokumen "asli" dan "salinan" memiliki fitur yang sama. Jadi mana dokumen yang "asli"? Apakah dokumen yang ada di disk saya? Atau yang ada di memori komputer saat ini? Atau dokumen yang ada di CD-ROM atau flash disk? Dunia digital memungkinkan kita memiliki lebih dari satu dokumen asli.
Seringkali
transaksi yang resmi membutuhkan tanda tangan untuk meyakinkan keabsahannya.
Bagaimana menterjemahkan tanda tangan konvensional ke dunia digital? Apakah
bisa kita gunakan tanda tangan yang di-scan, atau dengan kata lain menggunakan
digitized signature? Apa bedanya digitized signature dengan digital signature
dan apakah tanda tangan digital ini dapat diakui secara hukum?
Tanda
tangan ini sebenarnya digunakan untuk memastikan identitas. Apakah memang
digital identity seorang manusia hanya dapat diberikan dengan menggunakan tanda
tangan? Dapatkah kita menggunakan sistem biometrik yang dapat mengambil ciri
kita dengan lebih akurat? Apakah e-mail, avatar, digital dignature, digital
certificate dapat digunakan sebagai identitas (dengan tingkat keamanan yang
berbeda-beda tentunya)?
Semua contoh-contoh (atau lebih tepatnya pertanyaan-pertanyaan) di atas menantang landasan hukum konvensional. Jadi, apakah dibutuhkan sebuah hukum baru yang bergerak di ruangcyber, sebuah cyberlaw? Jika dibuat sebuah hukum baru, manakah batas teritorinya? Riil atau virtual? Apakah hukum ini hanya berlaku untuk cybercommunity – komunitas orang di dunia cyber yang memiliki kultur, etika, dan aturan sendiri – saja? Bagaimana jika efek atau dampak dari (aktivitas di) dunia cyber ini dirasakan oleh komunitas di luar dunia cyber itu sendiri?
Semua contoh-contoh (atau lebih tepatnya pertanyaan-pertanyaan) di atas menantang landasan hukum konvensional. Jadi, apakah dibutuhkan sebuah hukum baru yang bergerak di ruangcyber, sebuah cyberlaw? Jika dibuat sebuah hukum baru, manakah batas teritorinya? Riil atau virtual? Apakah hukum ini hanya berlaku untuk cybercommunity – komunitas orang di dunia cyber yang memiliki kultur, etika, dan aturan sendiri – saja? Bagaimana jika efek atau dampak dari (aktivitas di) dunia cyber ini dirasakan oleh komunitas di luar dunia cyber itu sendiri?
Atau
apakah kita dapat menggunakan dan menyesuaikan hukum yang sudah ada saat ini?
Kata "cyber" berasal dari "cybernetics," yaitu sebuah bidang studi yang terkait dengan komunikasi dan pengendalian jarak jauh. Norbert Wiener merupakan orang pertama yang mencetuskan kata tersebut. Kata pengendalian perlu mendapat tekanan karena tujuannya adalah "total control." Jadi agak aneh jika asal kata cyber memiliki makna dapat dikendalikan akan tetapi dunia cyber tidak dapat dikendalikan.
Kata "cyber" berasal dari "cybernetics," yaitu sebuah bidang studi yang terkait dengan komunikasi dan pengendalian jarak jauh. Norbert Wiener merupakan orang pertama yang mencetuskan kata tersebut. Kata pengendalian perlu mendapat tekanan karena tujuannya adalah "total control." Jadi agak aneh jika asal kata cyber memiliki makna dapat dikendalikan akan tetapi dunia cyber tidak dapat dikendalikan.
Cyberlaw
di Indonesia
Inisiatif
untuk membuat "cyberlaw" di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun
1999. Fokus utama waktu itu adalah pada "payung hukum" yang generik
dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan "payung" ini
dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan
peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan
undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih
spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.
Untuk
hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama
seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature
dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic
commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai
transaksi elektronik lainnya.
Namun
ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun
masuk ke dalam rancangan "cyberlaw" Indonesia. Beberapa hal yang
mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia
maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan
password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan
(e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan
masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain
yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya
ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan
Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU
Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini
dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, makaIndonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
Sumber:
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, makaIndonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
Sumber:
Computer crime
act (Malaysia)
TINGKAT penyalahgunaan jaringan internet
di Indonesia sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Akibatnya, Indonesia
dijuluki dunia sebagai negara kriminal internet. Karena itu, tak heran, apabila
saat ini, pihak luar negeri langsung menolak setiap transaksi di internet
menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan perbankan Indonesia.
Maraknya kejahatan di dunia maya (cyber
crime) merupakakan imbas dari kehadiran teknologi informasi (TI), yang di satu
sisi diakui telah memberikan kemudahan-kemudahan kepada manusia. Namun
demikian, di sisi lainnya, kemudahan tersebut justru sering dijadikan sebagai
alat untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cyber crime) seperti yang sering
kita saksikan belakangan ini.
Pornografi, penggelapan, pencurian data,
pengaksesan ke suatu sistem secara ilegal (hacking), pembobolan rekening bank,
perusakan situs internet (cracking), pencurian nomor kartu kredit (carding),
penyediaan informasi yang menyesatkan, transaksi barang ilegal, merupakan
contoh-contoh cyber crime yang sering terjadi dan merugikan banyak pihak.
Oleh karena itu, untuk mencegah merajalelanya cyber crime, maka perlu dibuat aturan hukum yang jelas untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya. Bahkan, dengan pertimbangan bahwa pengembangan teknologi informasi dapat menimbulkan bentuk-bentuk kejahatan baru, terutama dalam penyalahgunaan teknologi informasi, akhirnya pada 4 Desember 2001 yang lalu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi No. 55/63.
Oleh karena itu, untuk mencegah merajalelanya cyber crime, maka perlu dibuat aturan hukum yang jelas untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya. Bahkan, dengan pertimbangan bahwa pengembangan teknologi informasi dapat menimbulkan bentuk-bentuk kejahatan baru, terutama dalam penyalahgunaan teknologi informasi, akhirnya pada 4 Desember 2001 yang lalu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi No. 55/63.
Dalam resolusi tersebut disepakati bahwa
semua negara harus bekerja sama untuk mengantisipasi dan memerangi kejahatan
yuang menyalahgunakan teknologi informasi. Salah satu butir penting resolusi
menyebutkan, setiap negara harus memiliki undang-undang atau peraturan hukum
yang mampu untuk mengeliminir kejahatan tersebut.
Implementasi resolusi ini mengikat semua negara yang menjadi anggota PBB termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus segera melakukannya, apalagi saat ini, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara kriminal internet. Pemerintah harus segera berupaya untuk segera merealisasikan undang-undang yang mengatur secara detil tentang TI yang di dalamnya juga mencakup masalah cyber crime. Kehadiran UU tersebut sangat penting untuk memulihkan citra Indonesia di dunia Internasional.
Implementasi resolusi ini mengikat semua negara yang menjadi anggota PBB termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus segera melakukannya, apalagi saat ini, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara kriminal internet. Pemerintah harus segera berupaya untuk segera merealisasikan undang-undang yang mengatur secara detil tentang TI yang di dalamnya juga mencakup masalah cyber crime. Kehadiran UU tersebut sangat penting untuk memulihkan citra Indonesia di dunia Internasional.
Dibandingkan dengan Malaysia dan
Singapura, Indonesia tergolong sangat lamban dalam mengantisipasi perkembangan
TI. Sejak 1996, Singapura sudah memiliki beberapa perangkat hukum yang
berkaitan dengan pemanfaatan TI, di antaranya: "The Electronic Act 1998,
Electric Communication Privacy Act 1996″.
Sedangkan, peraturan undang-undang (UU) TI
sudah dimiliki negara jiran Malaysia sejak tahun 1997, yaitu dengan
dikeluarkannya "Computer Crime Act 1997″, "Digital Signature Act
1997″, serta "Communication and Multimedia Act 1998″.
Karena belum adanya UU khusus tentang TI, maka selama ini, para pelaku tindak pidana teknologi informasi (cyber crime) di Indonesia hanya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta perangkat UU lainnya, seperti UU Telekomunikasi, Undang-Undang Hak Cipta, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Padahal, berdasarkan data Polri, perkembangan cyber crime di Indonesia sangat pesat. Sebagai contoh, sejak Januari-September 2002, pihak Polri telah berhasil mengungkap 109 kasus tindak pidana TI yang dilakukan oleh 124 tersangka WNI yang melakukan aksinya di berbagai kota di Indonesia.
Dalam data tersebut, Bandung menempati posisi kedua sebagai kontributor tersangka pelaku cyber crime. Selain itu, dalam data yang sama diungkapkan pula, sekira 96% modus operandi yang digunakan dalam 109 kasus tersebut adalah Credit Card Fraud (penipuan dengan kartu kredit). Kemudian, jumlah korban yang dirugikan oleh kasus tersebut mencapai 109 orang,
sekira
80% dari korban tersebut merupakan warga AS.Berdasarkan paparan data Polri
tersebut, sudah seharusnya negara kita memiliki Undang-Undang Teknologi
Informasi (UUTI) sebagai bukti bahwa pemerintah memang serius dalam menangani
maraknya cyber crime di Indonesia.
Berkaitan dengan pembuatan UUTI ini,
Deputi Bidang Jaringan Komunikasi dan Informasi Cahyana Ahmadjayadi,
mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU)
di bidang TI yang diharapkan dalan waktu dekat ini dapat diajukan ke DPR. RUU
yang dimaksud yaitu: RUU tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi/cyber law (RUU
PTI), yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen
Perhubungan bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Unpad. Dan satu lagi,
RUU tentang Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature) dan Transaksi
Elektronik (E-Transaction), yang disingkat RUU IETE, disusun oleh Direktorat
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
bekerja sama dengan tim Lembaga Kajian Hukum Teknologi, FH UI.
Refensi :
- dosen.amikom.ac.id/downloads/artikel/BAB1.doc
- http://arifsubarkah.wordpress.com/2010/04/12/computer-crime-act-malaysia/
Council of Europe Convention on Cyber
crime (Eropa)(softskill)
Council of Europe Convention on Cyber crime telah
diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi
ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European
Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif
setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak
ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe.
Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan
kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan
semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang
berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga
digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan
pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut :
Pertama,
bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan
Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi
kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
Kedua, Konvensi saat ini
diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer
untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya
kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional
dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat
dipercaya dan cepat.
Ketiga, saat ini sudah
semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara
pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan
Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan
Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan
kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk
mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai
konvensi yang terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini
dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam
mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk
tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi
informasi.
Sumber :