PERBANDINGAN CYBER LAW
Diposting oleh
fahmi cool
on
Senin, 30 April 2012
/
Comments: (
1
)
PERBANDINGAN
CYBERLAW
Cyber
Law:
Cyber
Law adalah aspek hukum yang artinya berasal dari Cyberspace Law.yang ruang
lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau
subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai
pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. bisa diartikan
cybercrime itu merupakan kejahatan dalam dunia internet.
Cyberlaw
juga merupakan hukum yang terkait dengan masalah dunia cyber. Di Indonesia saat
ini sudah ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhubungan dengan dunia
cyber, yaitu RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan RUU Informasi Elektronik
dan Transaksi Elektronik.
Beberapa
orang menyebutnya Cybercrime kejahatan komputer.
The Encyclopaedia Britannica komputer mendefinisikan kejahatan sebagai kejahatan
apapun yang dilakukan oleh sarana pengetahuan khusus atau ahli penggunaan
teknologi komputer.
Computer
crime action
Undang-Undang
yang memberikan untuk pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan
penyalahgunaan komputer. BE IT diberlakukan oleh Seri Paduka Baginda Yang
di-Pertuan Agong dengan nasihat dan persetujuan dari Dewan Negara dan Dewan
Rakyat di Parlemen dirakit,dan oleh otoritas yang sama.
Cyber
crime merupakan salah satu bentuk fenomena baru dalam tindakan kejahatan, hal
ini sebagai dampak langsung dari perkembangan teknologi informasi. Cybercrime
adalah istilah umum, meliputi kegiatan yang dapat dihukum berdasarkan KUHP dan
undang-undang lain, menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan
dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak
properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi,
pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat.
komputer
sebagai diekstrak dari penjelasan Pernyataan
dari CCA 1997 :
- Berusaha untuk membuat suatu pelanggaran hukum bagi setiap orang untuk menyebabkan komputer untuk melakukan apapun fungsi dengan maksud untuk mendapatkan akses tidak sah ke komputer mana materi.
- Berusaha untuk membuatnya menjadi pelanggaran lebih lanjut jika ada orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam item (a) dengan maksud untuk melakukan penipuan, ketidakjujuran atau menyebabkan cedera seperti yang didefinisikan dalam KUHP Kode.
- Berusaha untuk membuat suatu
pelanggaran bagi setiap orang untuk menyebabkan modifikasi yang tidak sah
dari
isi dari komputer manapun. - Berusaha untuk menyediakan bagi pelanggaran dan hukuman bagi komunikasi yang salah nomor, kode, sandi atau cara lain untuk akses ke komputer.
- erusaha untuk menyediakan untuk pelanggaran-pelanggaran dan hukuman bagi abetments dan upaya dalam komisi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada butir (a), (b), (c) dan (d) di atas.
- Berusaha untuk membuat undang-undang anggapan bahwa setiap orang memiliki hak asuh atau kontrol apa pun program, data atau informasi lain ketika ia tidak diizinkan untuk memilikinya akan dianggap telah memperoleh akses yang tidak sah kecuali jika dibuktikan sebaliknya
Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace) tidak dapat
diatur. Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi batas ruang dan
waktu. Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan acuan hukum. Jika seorang
warga Indonesia melakukan transaksi dengan sebuah perusahaan Inggris yang
menggunakan server di Amerika, dimanakah (dan kapan) sebenarnya transaksi
terjadi? Hukum mana yang digunakan?
Teknologi digital yang digunakan untuk mengimplementasikan dunia cyber memiliki kelebihan dalam hal duplikasi atau regenerasi. Data digital dapat direproduksi dengan sempurna seperti aslinya tanpa mengurangi kualitas data asilnya. Hal ini sulit dilakukan dalam teknologi analog, dimana kualitas data asli lebih baik dari duplikatnya. Sebuah salian (fotocopy) dari dokumen yang ditulis dengan tangan memiliki kualitas lebih buruk dari aslinya. Seseorang dengan mudah dapat memverifikasi keaslian sebuah dokumen. Sementara itu dokumen yang dibuat oleh sebuah wordprocessor dapat digandakan dengan mudah, dimana dokumen "asli" dan "salinan" memiliki fitur yang sama. Jadi mana dokumen yang "asli"? Apakah dokumen yang ada di disk saya? Atau yang ada di memori komputer saat ini? Atau dokumen yang ada di CD-ROM atau flash disk? Dunia digital memungkinkan kita memiliki lebih dari satu dokumen asli.
Teknologi digital yang digunakan untuk mengimplementasikan dunia cyber memiliki kelebihan dalam hal duplikasi atau regenerasi. Data digital dapat direproduksi dengan sempurna seperti aslinya tanpa mengurangi kualitas data asilnya. Hal ini sulit dilakukan dalam teknologi analog, dimana kualitas data asli lebih baik dari duplikatnya. Sebuah salian (fotocopy) dari dokumen yang ditulis dengan tangan memiliki kualitas lebih buruk dari aslinya. Seseorang dengan mudah dapat memverifikasi keaslian sebuah dokumen. Sementara itu dokumen yang dibuat oleh sebuah wordprocessor dapat digandakan dengan mudah, dimana dokumen "asli" dan "salinan" memiliki fitur yang sama. Jadi mana dokumen yang "asli"? Apakah dokumen yang ada di disk saya? Atau yang ada di memori komputer saat ini? Atau dokumen yang ada di CD-ROM atau flash disk? Dunia digital memungkinkan kita memiliki lebih dari satu dokumen asli.
Seringkali
transaksi yang resmi membutuhkan tanda tangan untuk meyakinkan keabsahannya.
Bagaimana menterjemahkan tanda tangan konvensional ke dunia digital? Apakah
bisa kita gunakan tanda tangan yang di-scan, atau dengan kata lain menggunakan
digitized signature? Apa bedanya digitized signature dengan digital signature
dan apakah tanda tangan digital ini dapat diakui secara hukum?
Tanda
tangan ini sebenarnya digunakan untuk memastikan identitas. Apakah memang
digital identity seorang manusia hanya dapat diberikan dengan menggunakan tanda
tangan? Dapatkah kita menggunakan sistem biometrik yang dapat mengambil ciri
kita dengan lebih akurat? Apakah e-mail, avatar, digital dignature, digital
certificate dapat digunakan sebagai identitas (dengan tingkat keamanan yang
berbeda-beda tentunya)?
Semua contoh-contoh (atau lebih tepatnya pertanyaan-pertanyaan) di atas menantang landasan hukum konvensional. Jadi, apakah dibutuhkan sebuah hukum baru yang bergerak di ruangcyber, sebuah cyberlaw? Jika dibuat sebuah hukum baru, manakah batas teritorinya? Riil atau virtual? Apakah hukum ini hanya berlaku untuk cybercommunity – komunitas orang di dunia cyber yang memiliki kultur, etika, dan aturan sendiri – saja? Bagaimana jika efek atau dampak dari (aktivitas di) dunia cyber ini dirasakan oleh komunitas di luar dunia cyber itu sendiri?
Semua contoh-contoh (atau lebih tepatnya pertanyaan-pertanyaan) di atas menantang landasan hukum konvensional. Jadi, apakah dibutuhkan sebuah hukum baru yang bergerak di ruangcyber, sebuah cyberlaw? Jika dibuat sebuah hukum baru, manakah batas teritorinya? Riil atau virtual? Apakah hukum ini hanya berlaku untuk cybercommunity – komunitas orang di dunia cyber yang memiliki kultur, etika, dan aturan sendiri – saja? Bagaimana jika efek atau dampak dari (aktivitas di) dunia cyber ini dirasakan oleh komunitas di luar dunia cyber itu sendiri?
Atau
apakah kita dapat menggunakan dan menyesuaikan hukum yang sudah ada saat ini?
Kata "cyber" berasal dari "cybernetics," yaitu sebuah bidang studi yang terkait dengan komunikasi dan pengendalian jarak jauh. Norbert Wiener merupakan orang pertama yang mencetuskan kata tersebut. Kata pengendalian perlu mendapat tekanan karena tujuannya adalah "total control." Jadi agak aneh jika asal kata cyber memiliki makna dapat dikendalikan akan tetapi dunia cyber tidak dapat dikendalikan.
Kata "cyber" berasal dari "cybernetics," yaitu sebuah bidang studi yang terkait dengan komunikasi dan pengendalian jarak jauh. Norbert Wiener merupakan orang pertama yang mencetuskan kata tersebut. Kata pengendalian perlu mendapat tekanan karena tujuannya adalah "total control." Jadi agak aneh jika asal kata cyber memiliki makna dapat dikendalikan akan tetapi dunia cyber tidak dapat dikendalikan.
Cyberlaw
di Indonesia
Inisiatif
untuk membuat "cyberlaw" di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun
1999. Fokus utama waktu itu adalah pada "payung hukum" yang generik
dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan "payung" ini
dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan
peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan
undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih
spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.
Untuk
hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama
seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature
dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic
commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai
transaksi elektronik lainnya.
Namun
ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun
masuk ke dalam rancangan "cyberlaw" Indonesia. Beberapa hal yang
mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia
maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan
password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan
(e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan
masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain
yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya
ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan
Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU
Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini
dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, makaIndonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
Sumber:
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, makaIndonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
Sumber:
Computer crime
act (Malaysia)
TINGKAT penyalahgunaan jaringan internet
di Indonesia sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Akibatnya, Indonesia
dijuluki dunia sebagai negara kriminal internet. Karena itu, tak heran, apabila
saat ini, pihak luar negeri langsung menolak setiap transaksi di internet
menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan perbankan Indonesia.
Maraknya kejahatan di dunia maya (cyber
crime) merupakakan imbas dari kehadiran teknologi informasi (TI), yang di satu
sisi diakui telah memberikan kemudahan-kemudahan kepada manusia. Namun
demikian, di sisi lainnya, kemudahan tersebut justru sering dijadikan sebagai
alat untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cyber crime) seperti yang sering
kita saksikan belakangan ini.
Pornografi, penggelapan, pencurian data,
pengaksesan ke suatu sistem secara ilegal (hacking), pembobolan rekening bank,
perusakan situs internet (cracking), pencurian nomor kartu kredit (carding),
penyediaan informasi yang menyesatkan, transaksi barang ilegal, merupakan
contoh-contoh cyber crime yang sering terjadi dan merugikan banyak pihak.
Oleh karena itu, untuk mencegah merajalelanya cyber crime, maka perlu dibuat aturan hukum yang jelas untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya. Bahkan, dengan pertimbangan bahwa pengembangan teknologi informasi dapat menimbulkan bentuk-bentuk kejahatan baru, terutama dalam penyalahgunaan teknologi informasi, akhirnya pada 4 Desember 2001 yang lalu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi No. 55/63.
Oleh karena itu, untuk mencegah merajalelanya cyber crime, maka perlu dibuat aturan hukum yang jelas untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya. Bahkan, dengan pertimbangan bahwa pengembangan teknologi informasi dapat menimbulkan bentuk-bentuk kejahatan baru, terutama dalam penyalahgunaan teknologi informasi, akhirnya pada 4 Desember 2001 yang lalu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi No. 55/63.
Dalam resolusi tersebut disepakati bahwa
semua negara harus bekerja sama untuk mengantisipasi dan memerangi kejahatan
yuang menyalahgunakan teknologi informasi. Salah satu butir penting resolusi
menyebutkan, setiap negara harus memiliki undang-undang atau peraturan hukum
yang mampu untuk mengeliminir kejahatan tersebut.
Implementasi resolusi ini mengikat semua negara yang menjadi anggota PBB termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus segera melakukannya, apalagi saat ini, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara kriminal internet. Pemerintah harus segera berupaya untuk segera merealisasikan undang-undang yang mengatur secara detil tentang TI yang di dalamnya juga mencakup masalah cyber crime. Kehadiran UU tersebut sangat penting untuk memulihkan citra Indonesia di dunia Internasional.
Implementasi resolusi ini mengikat semua negara yang menjadi anggota PBB termasuk Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia harus segera melakukannya, apalagi saat ini, Indonesia masuk dalam daftar 10 besar negara kriminal internet. Pemerintah harus segera berupaya untuk segera merealisasikan undang-undang yang mengatur secara detil tentang TI yang di dalamnya juga mencakup masalah cyber crime. Kehadiran UU tersebut sangat penting untuk memulihkan citra Indonesia di dunia Internasional.
Dibandingkan dengan Malaysia dan
Singapura, Indonesia tergolong sangat lamban dalam mengantisipasi perkembangan
TI. Sejak 1996, Singapura sudah memiliki beberapa perangkat hukum yang
berkaitan dengan pemanfaatan TI, di antaranya: "The Electronic Act 1998,
Electric Communication Privacy Act 1996″.
Sedangkan, peraturan undang-undang (UU) TI
sudah dimiliki negara jiran Malaysia sejak tahun 1997, yaitu dengan
dikeluarkannya "Computer Crime Act 1997″, "Digital Signature Act
1997″, serta "Communication and Multimedia Act 1998″.
Karena belum adanya UU khusus tentang TI, maka selama ini, para pelaku tindak pidana teknologi informasi (cyber crime) di Indonesia hanya bisa dijerat dengan pasal-pasal yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta perangkat UU lainnya, seperti UU Telekomunikasi, Undang-Undang Hak Cipta, dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Padahal, berdasarkan data Polri, perkembangan cyber crime di Indonesia sangat pesat. Sebagai contoh, sejak Januari-September 2002, pihak Polri telah berhasil mengungkap 109 kasus tindak pidana TI yang dilakukan oleh 124 tersangka WNI yang melakukan aksinya di berbagai kota di Indonesia.
Dalam data tersebut, Bandung menempati posisi kedua sebagai kontributor tersangka pelaku cyber crime. Selain itu, dalam data yang sama diungkapkan pula, sekira 96% modus operandi yang digunakan dalam 109 kasus tersebut adalah Credit Card Fraud (penipuan dengan kartu kredit). Kemudian, jumlah korban yang dirugikan oleh kasus tersebut mencapai 109 orang,
sekira
80% dari korban tersebut merupakan warga AS.Berdasarkan paparan data Polri
tersebut, sudah seharusnya negara kita memiliki Undang-Undang Teknologi
Informasi (UUTI) sebagai bukti bahwa pemerintah memang serius dalam menangani
maraknya cyber crime di Indonesia.
Berkaitan dengan pembuatan UUTI ini,
Deputi Bidang Jaringan Komunikasi dan Informasi Cahyana Ahmadjayadi,
mengatakan, saat ini pemerintah sedang menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU)
di bidang TI yang diharapkan dalan waktu dekat ini dapat diajukan ke DPR. RUU
yang dimaksud yaitu: RUU tentang Pemanfaatan Teknologi Informasi/cyber law (RUU
PTI), yang disusun oleh Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen
Perhubungan bekerja sama dengan Tim dari Fakultas Hukum Unpad. Dan satu lagi,
RUU tentang Tanda Tangan Elektronik (Digital Signature) dan Transaksi
Elektronik (E-Transaction), yang disingkat RUU IETE, disusun oleh Direktorat
Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
bekerja sama dengan tim Lembaga Kajian Hukum Teknologi, FH UI.
Refensi :
- dosen.amikom.ac.id/downloads/artikel/BAB1.doc
- http://arifsubarkah.wordpress.com/2010/04/12/computer-crime-act-malaysia/
Council of Europe Convention on Cyber
crime (Eropa)(softskill)
Council of Europe Convention on Cyber crime telah
diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi
ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European
Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif
setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak
ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe.
Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan
kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan
semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang
berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga
digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan
pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut :
Pertama,
bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan
Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi
kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
Kedua, Konvensi saat ini
diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer
untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya
kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional
dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat
dipercaya dan cepat.
Ketiga, saat ini sudah
semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara
pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan
Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan
Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan
kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk
mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai
konvensi yang terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini
dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam
mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk
tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi
informasi.
Sumber :
Peraturan & regulasi
Diposting oleh
fahmi cool
/
Comments: (
1
)
Peraturan
& regulasi
Pembahasan tentang ringkasan undang
undang :
- UU no 19 TENTANG HAK CIPTA
- UU no 36 TENTANG TELEKOMUNIKASI
RINGKASAN
UU NO 19 TENTANG HAK CIPTA
Berkaitan
dengan pepmbahasan di atas di atas, maka pemahaman mengenai pemegang hak cipta
yang dinyatakan secara sah dapat disimpulkan dari Pasal 1 butir 4 Undang-Undang
No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) menyatakan bahwa
pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang
menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut
hak dari pihak yang menerima hak tersebut. Selanjutnya sehubungan
dengan hal tersebut di atas dan pemahaman awam mengenai sebenarnya kita
tidak perlu capek-capek mendaftarkan ciptaan kita, karena tetap dilindungi adalah
tidak benar.
Pendaftar
hak cipta memang bukan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta,
karena baik ciptaan yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar akan dilindungi.
Namun demikian apabila terjadi suatu perselisihan/persengketaan/klaim antara
dua belah pihak yang menyatakan bahwa masing-masing dari mereka itu adalah
pemegang hak cipta atas suatu ciptaan, maka pendaftaran atas ciptaan yang
dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasanya dapat menjadi
suatu alat bukti yang kuat di depan persidangan yang sekaligus juga menjadi
suatu bahan pertimbangan bagi Hakim untuk menentukan siapa pemegang hak cipta
yang sah.
Dan
juga hak cipta. Hak cipta adalah hak monopoli yang dimiliki pencipta atau
penerima hak dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Secara rinci Pasal
12 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menentukan beberapa ciptaan sebagai objek
yang dilindungi. Namun, ketentuan Pasal 12 UU No. 19 Tahun 2002 tidaklah
bersifat membatasi ciptaan yang dilindungi hak cipta. Artinya, jika ada ciptaan
lain diluar yang disebutkan di dalam Pasal 12 UU No. 19 Tahun 2002, maka selama
ciptaannya masuk pada bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan merupakan objek
yang dilindungi hak cipta.
Konsekuensi
suatu ciptaan memiliki hak cipta, maka di dalam ciptaan tersebut terdapat dua
macam hak yang dimonopoli oleh pencipta atau penerima hak. Dua macam hak
tersebut adalah; hak ekonomi dan hak moral.
Menurut
ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 tentang hak cipta sangat jelas bahwa hak cipta
diperoleh secara otomatis ketika ciptaan tersebut diwujudkan secara nyata
dengan tanpa mengurangi pembatasan dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Konsep perolehan hak cipta seperti ini dapat ditemukan di dalam
ketentuan Pasal 2 UU No. 19 Tahun 2002 yang selengkapnya berbunyi sebagai
berikut: Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak
cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara
otomatis setelah suatu ciptaan dilakukan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Nah, dari sini jelaslah bahwa untuk memperoleh hak cipta sebenarnya tidak membutuhkan pendaftaran. Artinya, tatkala suatu ciptaan tersebut dilahirkan dipublikasikan atau tidak pada dasarnya pada ciptaan tersebut melekat hak ciptanya. Jika, di masyarakat dipahami hak cipta diperoleh dengan mendaftar ke Dirjen HKI, maka pemahaman tersebut keliru/tidak benar.
UU
No. 19 Tahun 2002 mengatur pendaftaran ciptaan, tetapi hal tersebut tidak
dimaksudkan sebagai bentuk perolehan hak cipta. Hal ini semakin dipertegas lagi
di dalam Penjelasan ketentuan Pasal 35 ayat (4) UU No. 19 Tahun 2002 yang
menyatakan:"Pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi
pencipta atau pemegang hak cipta dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan
dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Hal
ini berarti suatu ciptaan baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar tetap
dilindungi.
HAKI
atau juga disebut hak kekayaan intelektual adalah pengakuan hukum yang
memberikan pemegang hak untuk mengatur penggunaan gagasan-gagasan dan ekspresi
yang diciptakannya untuk jangka waktu tertentu. Istilah 'kekayaan intelektual'
mencerminkan bahwa hal tersebut merupakan hasil pikiran atau intelektualitas,
dan bahwa hak kekayaan intelektual dapat dilindungi oleh hukum sebagaimana
bentuk hak milik lainnya.
prinsipnya HAKI merupakan suatu hak kekayaan yang berada dalam ruang lingkup kehidupan manusia di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra, sehingga pemilikannya bukan terhadap barangnya melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual manusianya dan tentu harus berwujud. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi secara hukum dari ide, gagasan dan informasi yang mempunyai nilai komersial atau nilai ekonomi yang telah dihasilkan oleh seseorang maupun kelompok tersebut.
Terdapat tiga jenis benda yang dapat dijadikan kekayaan atau hak milik, yaitu :
prinsipnya HAKI merupakan suatu hak kekayaan yang berada dalam ruang lingkup kehidupan manusia di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun seni dan sastra, sehingga pemilikannya bukan terhadap barangnya melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual manusianya dan tentu harus berwujud. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi secara hukum dari ide, gagasan dan informasi yang mempunyai nilai komersial atau nilai ekonomi yang telah dihasilkan oleh seseorang maupun kelompok tersebut.
Terdapat tiga jenis benda yang dapat dijadikan kekayaan atau hak milik, yaitu :
- Benda bergerak, seperti emas, perak, kopi, teh, alat-alat elektronik, peralatan telekominukasi dan informasi, dan sebagainya;
- Benda tidak bergerak, seperti tanah, rumah, toko, dan pabrik;
- Benda tidak berwujud, seperti paten, merek, dan hak cipta.
Kekayaan intelektual (Intelectual property) meliputi dua hal, yaitu :
1.
Industrial property right (hak kekayaan industri), berkaitan dengan
invensi/inovasi yang berhubungan dengan kegiatan industri, terdiri dari :
a.
paten
b.
merek
c.
desain industri
d. rahasia dagang
e.
desain tata letak terpadu
2. Copyright (hak cipta), memberikan perlindungan terhadap karya seni, sastra dan ilmu pengetahuan seperti film, lukisan, novel, program komputer, tarian, lagu, dsb.
Dasar
Hukum
•Undang-undang
Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (WTO)
•Undang-undang
Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
•Undang-undang
Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
•Undang-undang
Nomor 14/1997 tentang Merek
•Keputusan
Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection
of Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual
Property Organization
•Keputusan
Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
•Keputusan
Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection
of Literary and Artistic Works
•Keputusan
Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
Ruang lingkup HAKI :
- Hak Cipta
- Paten
- Merek
- Desain Industri
- Rahasia Dagang
Hak
Cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur
penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak
cipta merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat
juga memungkinkan pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah
atas suatu ciptaan. Pada umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu
yang terbatas.
Dikatakan
hak khusus atau sering juga disebut hak eksklusif yang berarti hak tersebut
hanya diberikan kepada pencipta dan tentunya tidak untuk orang lain selain
pencipta.
Hak khusus meliputi :
Hak khusus meliputi :
- hak untuk mengumumkan;
- hak untuk memperbanyak.
UU yang mengatur Hak Cipta :
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaØ
UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 - Nomor 15)Ø
UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)Ø
UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)Ø
2. Paten
Hak
khusus yang diberikan negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang
teknologi, untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya
tersebut atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakannya
(UU 14 tahun 2001, pasal 1, ayat 1).
Paten
hanya diberikan negara kepada penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru)
di bidang teknologi. Yang dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan
masalah tertentu di bidang teknologi yang berupa :
a. Proses;
b. Hasil produksi;
c. Penyempurnaan dan pengembangan proses;
d. Penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi.
b. Hasil produksi;
c. Penyempurnaan dan pengembangan proses;
d. Penyempurnaan dan pengembangan hasil produksi.
Pengaturan
Paten diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1989 tentang
Paten telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1997
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1989
tentang Paten. Untuk mempermudah penyebutannya dapat disingkat menjadi
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 atau
Undang-Undang Paten (UUP) saja.
Pemberian Paten
Penemuan
diberikan Paten oleh negara apabila telah melewati suatu proses pengajuan
permintaan paten pada Kantor Paten (Departemen Kehakiman Republik Indonesia di
Jakarta).
Penemuan yang tidak dapat dipatenkan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Paten, yaitu :
Penemuan yang tidak dapat dipatenkan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Paten, yaitu :
- Penemuan tentang proses atau hasil produksi yang pengumuman dan penggunaan atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketertiban umum, dan kesusilaan.
- Penemuan tentang metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan, dan pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan hewan, tetapi tidak menjangkau produk apapun yang digunakan atau berkaitan dengan metode tersebut.
- Penemuan tentang teori dan
metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematika.
3. Merk Dagang (Trademark)
Tanda
yang berupa gambar, nama,kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yangmemiliki daya pembeda dan digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa (Pasal 1 Undang-undang Merek).
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
Pengaturan Merek diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1992 tentang Merek. Untuk mempermudah penyebutannya dapat disingkat menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 atau dapat juga disingkat Undang-Undang Merek (UUM).
Unsur-unsur yang tidak dapat didaftarkan sebagai merek menurut Pasal 5 Undang-Undang Merek yaitu :
a. Tanda yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
b. Tanda yang tidak memiliki daya pembeda.
c. Tanda yang telah menjadi milik umum.
d. Tanda yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.
4. Desain industri
b. Tanda yang tidak memiliki daya pembeda.
c. Tanda yang telah menjadi milik umum.
d. Tanda yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran.
4. Desain industri
Seni terapan di mana estetika dan usability (kemudahan
dalam menggunakan suatu barang) suatu barang disempurnakan. Desain industri
menghasilkan kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau
warna atau garis dan warna atau gabungannya, yang berbentuk 3 atau 2 dimensi,
yang memberi kesan estetis, dapat dipakai untuk menghasilkan produk, barang,
komoditas industri atau kerajinan tangan. Sebuah karya desain dianggap sebagai
kekayaan intelektual karena merupakan hasil buah pikiran dan kreatifitas dari
pendesainnya, sehingga dilindungi hak ciptanya oleh pemerintah melalui
Undang-Undang No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri. Kriteria desain
industri adalah baru dan tidak melanggar agama, peraturan perundangan, susila,
dan ketertiban umum. Jangka waktu perlindungan untuk desain industri adalah 10
tahun.
5. Rahasia Dagang
Informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang
teknologi dan/ atau bisnis dimana mempunyai nilai ekonomis karena berguna dalam
kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.
Pemilik
rahasia dagang dapat memberikan lisensi bagi pihak lain. Yang dimaksud dengan
lisensi adalah izin yang diberikan kepada pihak lain melalui suatu perjanjian
berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat
ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberikan perlindungan pada jangka waktu
tertentu dan syarat tertentu.
Rahasia Dagang di Indonesia diatur dalam UU No 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Perlindungan rahasia dagang berlangsung otomatis dan masa perlindungan tanpa batas.
Rahasia Dagang di Indonesia diatur dalam UU No 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. Perlindungan rahasia dagang berlangsung otomatis dan masa perlindungan tanpa batas.
RINGKASAN UU NO 36 TELEMATIKA
Undang-undang
Nomor 36 Tahun tentang Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan
telekomunikasi telah menunjukkan peningkatan peran penting dan strategis dalam
menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan
keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintah an,
memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka wawasan nusantara, dan
memantapkan ketahanan nasional serta meningkatkan hubungan antar bangsa.
Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung
sangat cepat mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan
telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan
telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan
penyiaran sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali penyelenggaraan
telekomunikasi nasional.
Penyesuaian
dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan
kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam
penyelenggaraan telekomunikasi, penquasaan teknologi telekomunikasi, dan
keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Perkembangan
teknologi telekomunikasi di tingkat internasional yang diikuti dengan
peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas perdagangan, yang
memiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya berbagai
kesepakatan multilateral. Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan
antarnegara atas dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam
berbagai kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus
dihadapi dan diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on Trade and
Services (GATS) di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994, yang telah
diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, penyelenggaraan
telekomunikasi nasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
Sesuai dengan prinsip perdagangan global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif, Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
Telekomunikasi
adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan / atau penerimaan dari setiap
informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi
melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya (Pasal 1
angka (1) Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi / UU 3 / 99).
Telekomunikasi
sendiri berasal dari kata "tele" yang berarti jauh, dan
"komunikasi" yang berarti hubungan pertukaran ataupun penyampaian
informasi.
Teknisnya,
proses bertelekomunikasi dilakukan dengan memancarkan suatu pesan atau data
dengan signal elektronik dari suatu tempat si pengirim dan ke suatu tempat si
penerima informasi, baik melalui jalur gelombang radio, ataupun signal radio.
Asas
dan tujuan dari telekomunikasi adalah berdasarkan asas manfaat, adil dan
merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri
sendiri. Kemudian telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung
persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan,
serta meningkatkan hubungan antar bangsa. Lingkup yang meliputi hukum
telekomunikasi adalah prinsip universalitas.
Oleh
penggunanya, telekomunikasi dituntut untuk disediakan jasa yang beragam, baik
dan handal dengan tarif yang bersaing dan diselenggarakan bebas dari batasan
monopoli. Pada tahun 1997, negara-negara dunia menandatangani World
Trade Organization Agreement on Basic Telecomunications yang bermaksud
untuk meliberalisasikan pasar jasa telekomunikasi dasar. Akibatnya, pasar
telekomunikasi yang semula tertutup berubah menjadi terbuka.
Sebagai
salah satu negara peserta yang ikut menandatangani perjanjian ini,
maka Indonesia juga akan membuka pasar telekomunikasi ke pasar bebas.
Dalam additional commitment, Indonesia telah menyesuaikan peraturan
kita dengan WTO reference paper yang merupakan suatu perangkat
pengaturan yang menjamin kompetisi yang sehat yang meliputi keharusan negara
anggota untuk memasukkan dalam regulasi nasional hal-hal sebagai berikut:
a. Pencegahan
praktek anti-kompetisi dalam telekomunikasi;
b. Interkoneksi;
c. Pelayanan
Universal;
d. Kriteria pemberian
lisensi yang harus diumumkan;
e. Regulator
independen;
f. Alokasi
dan pemakaian sumber daya (resources) yang langka.
Menurut
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor. 11 / PER / M.KOMINFO / 04 /
2007 tentang Penyediaan Kewajiban Pelayanan Universal Komunikasi, yang dimaksud
dengan Kewajiban Pelayanan Universal adalah kewajiban yang dibebankan
kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi untuk
memenuhi aksesibilitas bagi wilayah atau sebagian masyarakat yang belum
terjangkau oleh penyelenggara jaringan dan atau jasa telekomunikasi
(Pasal 1 angka (9)).
Kewajiban
penyelenggara telekomunikasi berdasarkan Pasal 2 Permen No. 11 / PER /
M.KOMINFO/ 04 / 2007 adalah:
(1) Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan/atau jasa telekomunikasi wajib
dikenakan KPU telekomunikasi.
(2) KPU
telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui KKPU dalam
bentuk prosentase tertentu dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi
setiap tahun.
(3) KKPU
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan Pendapatan Negara Bukan Pajak
(PNBP).
(4) Ketentuan
mengenai besaran penyetoran, dan tata cara penarikan KKPU diatur dengan
peraturan perundang-undangan tersendiri.
Catatan:
KPU = Kewajiban
Pelayanan Universal
KKPU = Kontribusi
Kewajiban Pelayanan Universal
BTIP = Balai
Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan
Pasal
4 ayat (1) Permen aquo mengatur bahwa dalam kewajiban pelayanan universal
telekomunikasi, makapelayanan telekomunikasi harus dapat memberikan layanan
jasa teleponi dasar dan selanjutnya harus dapat dikembangkan ke tahap
penyediaan layanan jasa multimedia dan layanan telekomunikasi berbasis informasi
lainnya. Yang merupakan penyediaan layanan telekomunikasi berbayar
dan berbasis komunal.
Menteri
Komunikasi dan Informatika juga mempunyai kewenangan untuk menetapkan wilayah
tertentu sebagai wilayah pelayanan universal telekomunikasi (Pasal 5 ayat (1),
yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan instansi terkait dan / atau
mempertimbangkan masukan masyarakat, di mana wilayah ini dapat dibagi
berdasarkan wilayah geografis.
Dalam
usaha menyediakan kewajiban universal telekomunikasi ini, maka akan dilakukan
lelang dengan pesertapenyelenggara jaringan dan/atau jasa telekomunikasi (Pasal
7).
Parameter
penilaian dalam pelaksanaan lelang umum penyediaan kewajiban pelayanan
universal telekomunikasi adalah :
a. biaya penyediaan
layanan;
b. pengoperasian dan
pemeliharaan;
c. tarif layanan;
d. penyediaan
interkoneksi layanan;
e. jenis layanan
minimal;
f. penggunaan
produk dalam negeri.
Di
mana ketentuan teknis parameter penilaian akan diatur lebih lanjut dalam
dokumen pelelangan umum.
Kontrak
penyediaan KPU telekomunikasi bersifat multiyears yang terdiri
dari kontrak induk dan kontrak anak. Kontrak induk
merupakan hubungan hukum antara pelaksana penyedia dengan BTIP dalam
penyediaan KPU telekomunikasi untuk jangka waktu 5 tahun. Sedangkan kontrak
anak merupakan bagian dari kontrak induk untuk menugaskan pelaksana penyedia
dalam penyediaan kewajiban pelayanan universal telekomunikasi dan mengevaluasi
kinerja penyediaan akses dan layanan telekomunikasi. Kontrak induk dapat
diperpanjang berdasarkan hasil evaluasi.
Hak penyedia kewajiban pelayanan universal telekomunikasi
adalah:
a.Pelaksana
penyedia berhak mendapatkan akses interkoneksi dari penyelenggara jasa/jaringan
telekomunikasi;
b.Pelaksana penyedia
dapat diberikan uang muka dalam penyediaan akses telekomunikasi;
c.Pelaksana
penyedia berhak mendapatkan biaya sewa atas jasa penyediaan
akses KPU telekomunikasi.Biaya sewa atas jasa penyediaan akses KPU
telekomunikasi, diberikan berdasarkan kesiapan fungsi dan berbasis kinerja
dari; proses penyediaan akses; layanan
telekomunikasi; pengoperasian; dan / ataupemeliharaan;
d.Pelaksana berhak
memperoleh seluruh pendapatan dari hasil penyediaan layanan KPU telekomunikasi.
Kewajiban pelaksana KPU adalah:
a.Pelaksana
penyedia wajib membangun, mengoperasikan dan memelihara serta
mengembangkan akses dan layanan KPU telekomunikasi;
b.Untuk kesinambungan
layanan, pelaksana penyedia dapat melibatkan masyarakat atau badan usaha dalam
penyediaan KPU telekomunikasi. Keterlibatan masyarakat atau badan usaha
dilakukan berdasarkan kontrak atau kesepakatan;
c.Pelaksana
penyedia wajib memberlakukan tarif layanan jasa teleponi dasar maksimal sesuai
dengan tarif yang ditetapkan oleh penyelenggara jaringan tetap lokal
dominan. Pelaksana penyedia wajib menanggung resiko atas pendapatan dari
penyediaan layanan KPU telekomunikasi;
d.Menjamin
interoperability sistem yang dibangun dengan sistem milik penyelenggara
telekomunikasi lainnya;
e.Menggunakan
sistem penomoran yang telah dialokasikan;
f. Mengikuti
ketentuan dalam Rencana Dasar Teknis yang ditetapkan oleh Menteri;
g.Melaksanakan
pencatatan atas pendapatan dari hasil penyediaan KPU telekomunikasi dan
dilaporkan secara berkala kepada BTIP;
h.Menyediakan
akses dan menyampaikan data pengoperasian kepada BTIP;
i. Penyediaan
KPU wajib beroperasi setiap hari selama 24 (dua puluh empat) jam;
j. Pelaksana
penyedia wajib melaksanakan penyediaan KPU telekomunikasi berdasarkan tingkat
kualitas layanan sebagaimana yang ditetapkan dalam kontrak.
TELEKOMUNIKASI
PADA UMUMNYA
Menurut
Pasal 7 UU 36 / 99, penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:
a. Penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi;
b. Penyelenggaraan
jasa telekomunikasi;
c. Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus.
Berdasarkan
Pasal 8 UU 36 / 99, penyelenggaraan telekomunikasi dapat dilakukan oleh:
a. Badan
Usaha Milik Negara;
b. Badan
Usaha Milik Daerah;
c. Badan
Usaha Swasta;
d. Koperasi.
Sedangkan
penyelenggaraan telekomunikasi khusus dapat dilakukan oleh:
a. perseorangan;
b. instansi
pemerintah;
c. badan
hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan / atau penyelenggara
jasa telekomunikasi.
Penyelenggara
telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat diantara penyelenggara
telekomunikasi (Pasal 10 ayat (1)), sedangkan larangan tersebut sesuai dengan Undang-undang
tentang Monopoli, dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam
rangka pembangunan, pengoperasian, dan / atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi, penyelenggara telekomuniasi dapat memanfaatkan atau melintasi
tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai pemerintah. Juga
dapat memanfaatkan atau melintasi tanah dan / atau bangunan milik perseorangan
untuk tujuan pembangunan, pengoperasian, atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi setelah terdapat persetujuan di antara para pihak.
Pasal
16 UU 36 / 99 mempertegas kewajiban penyelenggara jasa telekomunikasi untuk
memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
Hak
dan kewajiban penyelenggara jaringan telekomunikasi adalah:
a.Wajib mencatat /
merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna
telekomunikasi;
b.Wajib menjamin
kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan
kebutuhan telekomunikasi;
c.Memberikan
prioritas pengiriman, penyaluran, dan penyampaian informasi penting yang
menyangkut: keamanan negara; keselamatan jiwa manusia, bencana alam,
marabahaya, dan wabah penyakit;
d.Setiap penyelenggara
jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan interkoneksi dari
penyelenggara jaringan telekomunikasi (diatur oleh Peraturan Pemerintah);
e.Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila
diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya (diatur oleh
Peraturan Pemerintah);
f.Setiap
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan / atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang
diambil dari prosentase pendapatan (diatur oleh Peraturan Pemerintah);
Berdasarkan
Pasal 32 ayat (1), perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat,
dirakit, dimasukan dan / atau digunakan di dalam wilayah Republik Indonesia
wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, di mana persyaratan teknis perangkat
telekomunikasi ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Namun pengecualian
diberikan kepada perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera
asing dari dan ke wilayah perairan Indonesia, serta yang digunakan oleh pesawat
udara sipil asing dari dan ke wilayah udara Indonesia.
Dalam
rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan
pengguna jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan
perekaman pemakaian fasilitas telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa
telekomunikasi dan dapat melakukan perekaman informasi. Dengan catatan
informasi yang dikirim tersebut dirahasiakan oleh penyelenggara jasa
telekomunikasi.
Untuk
keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat
merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa
telekomuniksi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: permintaan
jaksa agung atau kepala kepolisian Republik Indonesia, dan permintaan penyidik
untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dan hal ini tidak melanggar ketentuan bahwa setiap orang tidak boleh
menyadap jaringan telekomunikasi.
Berdasarkan
Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor. 52 Tahun 2000, penyelenggara
jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui
jaringan yang dimiliki, dan disediakannya. Ayat (2) menyatakan penyelenggaraan
jasa telekomunikasi yang dilakukan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi
harus merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggara jaringan yang
sudah ada, dan pada Ayat (3) dinyatakan harus mendapat izin dari Menteri
terkait.
Penyelenggaraan
jaringan telekomunikasi terdiri dari; penyelenggaraan jaringan tetap (lokal,
sambungan jarak jauh, sambungan internasional, tetap tertutup); jaringan
bergerak (terestrial, seluler, satelit).
Pasal
10 mengatur bahwa penyelenggara jaringan tetap lokal atau penyelenggara
jaringan bergerak seluler atau penyelenggara jaringan bergerak satelit harus
menyelenggarakan jasa teleponi dasar. Pasal yang sama juga mengatur bahwa
penyelenggara jaringan tetap lokal dalam menyelenggarakan jasa teleponi dasar,
wajib menyelenggarakan jasa telepon umum, yang dapat dilakukan dengan bekerja
sama dengan pihak ketiga.
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi dalam menyediakan jaringan telekomunikasi dapat bekerja
sama dengan penyelenggara luar negeri sesuai dengan izin penyelenggaraannya.
Pasal 14 menjelaskan bahwa penyelenggaraan jasa telekomunikasi jasa terdiri dari; penyelenggaraan teleponi dasar, penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi, dan penyelenggaraan jasa multimedia.
Penyelenggaraan
jasa telekomunikasi sendiri diatur melalui Keputusan Menteri Perhubungan Nomor.
KM. 21 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
Yang
dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi sebagai badan hukum adalah: Badan
Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Swasta,
dan Koperasi (Pasal 3 ayat (1).
Dalam
menyelenggarakan jasa telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat
menggunakan jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan
telekomunikasi, yang dilaksanakan melalui perjanjian kerjasama yang dilakukan
secara tertulis (Pasal 5).
Pasal
6 menjelaskan bahwa dalam hal tidak tersedia jaringan telekomunikasi, maka
penyelenggara jasa dapat membangun jaringan telekomunikasi sendiri, yang tidak
boleh disewakan kepada pihak lain.
Dalam
menyelenggarakan jasa telekomunikasi, penyelenggara jasa wajib mengikuti
ketentuan dalam Rencana Dasar Teknis yang ditetapkan Menteri, serta memenuhi
standar pelayanan telekomunikasi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal, alat
atau perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam penyelenggaraan jasa, wajib
memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan, dan memiliki sertifikat dari
Direktur Jenderal (Pasal 8 jo Pasal 9 jo Pasal 10).
Setiap
penyelenggara jasa telekomunikasi juga wajib membayar biaya penyelenggaraan
telekomunikasi yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Pasal 12) dengan
disertai kewajiban pelayanan universal (Pasal 13).
Pasal
14 menjelaskan bahwa penyelenggaraan jasa teleponi dasar dilakukan oleh:
penyelenggara jaringan tetap lokal, penyelenggara jaringan tetap seluler,
penyelenggara jaringan bergerak satelit, dan penyelenggara radio trunking.
Menurut
Pasal 23, penyelenggara jasa teleponi dasar dapat menyelenggarakan fasilitas
layanan tambahan, seperti;reverse charging, multi call address, abbreviated
dialling, special dialling facilities, voice and text
mail box, danshort message service (Pasal 24).
Berdasarkan
Pasal 25, maka penyelenggaraan jasa nilai tambah teleponi terdiri dari:
panggilan premium, kartu panggil, nomor telepon maya, rekaman telepon untuk
umum, store and forward, serta pusat layanan informasi (call
center).
Sementara
berdasarkan Pasal 46, penyelenggaraan jasa multimedia sendiri terdiri atas:
jasa televisi berbayar, jasa akses internet, jasa interkoneksi internet, jasa
internet teleponi untuk keperluan publik (memerlukan izin Dirjen), jasawireless
access protocol, jasa portal, jasa small office – home office,
jasa transaksi online, dan jasa aplikasi packet – switched (tidak
memerlukan izin Dirjen, hanya didaftarkan saja).
Berdasarkan
Pasal 38 PP 25 Tahun 2000, maka penyelenggaraan telekomunikasi khusus dilakukan
untuk keperluan: sendiri, pertahanan negara, dan penyiaran. Yang dapat
menyelenggarakan telekomunikasi khusus sendiri adalah:perseorangan (radio
amatir, dan komunikasi radio antar penduduk), instansi pemerintah, dinas
khusus, dan badan hukum.
Dalam
PP 25 Tahun 2000 juga diatur mengenai penyelenggaraan telekomunikasi khusus
untuk penyiaran, namun mengingat sudah ada undang-undang sendiri mengenai
penyiaran, maka bagian dari PP ini tidak lagi akan diulas.
Setiap
alat atau perangkat telekomunikasi harus mendapatkan sertifikasi berdasarkan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor. KM. 10 tahun 2005. Di mana pengujian alat
dan perangkat telekomunikasi akan didasarkan kepada kesesuaian antara
karakteristik alat dan perangkat telekomunikasi terhadap persyaratan teknis
yang berlaku. Definisi persyaratan teknis sendiri adalah parameter elektronis /
elektris yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia yang dibuat oleh
instansti teknis terkait.
Pasal
2 ayat (3) menyatakan pelaksanaan sertifikasi alat dan perangkat telekomunikasi
meliputi: pengujian dan penerbitan sertifikat.
Pasal
4 menjelaskan bahwa pengujian alat dan perangkat dilaksanakan melalui:
pengukuran (terdiri dari uji laboratorium dan uji lapangan) oleh Lembaga
Pengujian, dan uji dokumen oleh Lembaga Sertifikasi (berlaku dalam halMutual
Recognation Arrangement).
Sertifikat
alat dan perangkat telekomunikasi yang diterbitkan terdiri dari: Sertifikat A
untuk pabrikan dan distributor, serta Sertifikat B untuk importir atau
institusi, di mana alat yang telah mendapatkan sertifikat akan dilekatkan
label. Pasal 13 mengatakan sertifikat berlaku selama tiga tahun dan wajib
diperbaharui kecuali dalam hal alat tersebut tidak diperdagangkan lagi, ataupun
tidak digunakan lagi untuk keperluan institusi. Pembaharuan ini wajib dilakukan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum masa berlaku sertifikat berakhir.
Masalah
interkoneksi diatur oleh Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor. 08
/ Per / M.KOMINFO / 02 / 2006 tanggal 08 Februari 2006 tentang Interkoneksi.
Interkoneksi
berdasarkan Pasal 1 angka (1) Permen a quo didefinisikan sebagai keterhubungan
antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
berbeda. Kewajiban interkoneksi sendiri diberikan agar memberi jaminan kepada
pengguna agar dapat mengakses jasa telekomunikasi (Pasal 2 ayat (1)).
Layanan
dari interkoneksi dan ketersambungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 terdiri dari: a. Layanan originasi, b. Layanan transit, dan c. Layanan
terminasi.
Ad.
a. Layanan originasi merupakan pembangkitan panggilan yang berasal dari satu
penyelenggara kepada penyelenggara lain yang dapat berasal dari penyelenggara
jaringan tetap lokal, jaringan penyelenggara jaringan bergerak seluler, dan
penyelenggara jaringan bergerak satelit, yang dapat memberikan layanan
originasi lokal, jarak jauh, internasional, bergerak seluler, dan bergerak
satelit.
Ad.
b. Layanan transit merupakan penyediaan jaringan atau elemen jaringan keperluan
penyaluran panggilan interkoneksi, dari penyelenggara asal kepada penyelenggara
tujuan panggilan interkoneksi. Layanan transit sendiri terdiri dari layanan
lokal, dan jarak jauh.
Ad.
c. Layanan terminasi merupakan pengakhiran panggilan interkoneksi dari
penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan, yang dilakukan oleh
penyelenggara jaringan tetap lokal, bergerak satelit, dan bergerak seluler,
yang dapat memberikan layanan terminasi lokal, jarak jauh, bergerak selular,
dan bergerak satelit.
Jenis-jenis biaya yang timbul dari interkoneksi adalah: biaya originasi, biaya transit, dan biaya terminasi. Perhitungan biaya interkoneksi dilakukan berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Menteri, dan mengacu kepada: ketentuan metode pengalokasian biaya dan laporan finansial kepada regulator, serta buku panduan dan perangkat lunak formula perhitungan biaya interkoneksi.
Biaya
interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara tujuan panggilan kepada
penyelenggara asal panggilan yang mempunyai tanggung jawab atas panggilan
interkoneksi, namun dalam hal tanggung jawab panggilan interkoneksi dimiliki
oleh penyelenggara tujuan atau penyelenggara jasa telekomunikasi, biaya
interkoneksi dibebankan oleh penyelenggara asal kepada penyelenggara tujuan,
tanggung jawab tersebut meliputi proses billing tarif pungut, penagihan kepada
pengguna, dan piutang tidak tertagih. Dalam hal tanggung jawab dilaksanakan
oleh penyelenggara jaringan yang menyalurkan trafik interkoneksi, maka dapat mengenakan
biaya atas pelaksanaan tanggung jawab tersebut yang ditetapkan berdasarkan
ketetapan bersama
Pasal
18 mewajibkan penyelenggara telekomunikasi menyampaikan laporan kepada Badan
Regulator Telekomunikasi Indonesia, yang meliputi laporan finansial, dokumen
perhitungan, dan alokasi biaya sebagaimana diatur dalam Metode Pengalokasian
Biaya dan Laporan Finansial.
Berdasarkan
Pasal 19, maka setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan
dan mempublikasikan Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) adalah
dokumen yang memuat aspek teknis, aspek operasional, dan aspek ekonomis dari
penyediaan layanan interkoneksi yang ditawarkan oleh penyelenggara jaringan
telekomunikasi kepada penyelenggara jaringan dan atau penyelenggara jasa
lainnya. DPI akan dievaluasi oleh Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia
setiap tahun.
DPI
milik penyelenggara jaringan telekomunikasi dengan pendapatan usaha 25 % atau
lebih dari total pendapatan usaha seluruh penyelenggara telekomunikasi dalam
segmentasi layanannya, wajib mendapatkan persetujuan Badan Regulator
Telekomunikasi Indonesia, demikian pula dengan setiap perubahan DPI harus
mendapat persetujuan Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia.
SUMBER
REFERENSI :
- http://bennyantoni.blogspot.com/2010/05/resume-bab-6-hak-kekayaan-intelektual.html
- http://pusathki.uii.ac.id/konsultasi/konsultasi/kapan-hak-cipta-diperoleh.html
- http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl2763/pemegang-hak-cipta
- http://www.lexregis.com/?menu=legal_article&id_la=13
- Kompilasi Hukum Telematika karangan Edmon Makarim, S.H., S.Kom;
- Undang-undang Nomor. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi;
- Peraturan Pemerintah Nomor.52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi;
- Keputusan Menteri Perhubungan Nomor. KM. 21 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi;
- Keputusan Menteri Perhubungan tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia;
- Peraturan Menteri Perhubungan nomor. KM. 10 tahun 2005 tentang Sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi;
- Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 8 / Per/M.KOMINFO/02/2006.
- http://www.scribd.com/doc/30814218/UU-No-36-Th-1999-Tentang-Telekomunikasi-Penjelasan
- http://tmy-remind.blogspot.com/2011/03/penjelasan-uu-no36-tentang.html